Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika Penerbit
Tebal : 400 Halaman
Tahun Terbit: September 2015
Tahun Terbit: September 2015
Harga:
Rp 71.500, 00
Toko Buku: Gramedia Pekanbaru
Toko Buku: Gramedia Pekanbaru
Rating:
4/5
Aku bersiap melakukan pertarungan hebat yang akan dikenang. Hari saat aku menyadari warisan leluhurku yang menakjubkan, bahwa aku tidak lagi mengenal definisi rasa takut.
Don’t judge a book by it’s cover (atau
judulnya) kayaknya memang cocok untuk novel satu ini. Alih-alih bernuansa sendu-sendu
romantis yang diatmosferkan dari kata Pulang,
novel ini justru hadir dengan nuansa petarung yang penuh action dan
intrik-intrik politik antar keluarga dunia hitam yang seru dan tragis. Dunia hitam
merupakan sebutan bagi shadow economy,
yaitu ‘sistem’ ekonomi bawah tanah yang rapi, sistematis, terjalin ke berbagai
arah dengan sangat kuat. Mereka mengendalikan sistem yang tampak tanpa pernah terlihat tampak. Nyaris semua sektor perekonomian di dunia ini dikendalikan
oleh mereka yang berada dalam shadow economy.
Dengan mengandalkan ratusan bahkan ribuan tukang jagal sebagai ujung tombak bisnis di shadow economy, berbagai bisnis berkembang sangat pesat sampai-sampai tidak perlu lagi ditanya berapa banyak uang mereka di dunia ini. Jagal disini juga termasuk bagi mereka yang cerdas, namun berjiwa tukang pukul. Siap ‘memukul’ siapapun, sistem seperti apapun, pemerintah era manapun jika sedikit saja mereka terganggu.
“Apa… Apa yang sebenarnya kalian inginkan?”“Tidak ada.” Aku menggeleng takzim. “Sama sekali tidak ada”“Aku menemui Anda hanya untuk menyampaikan pesan. Jika anda terpilih menjadi presiden, biarkan semua berjalan seperti biasa. Jangan mengganggu kami, maka kami tidak akan mengganggu pemerintah. Tapi sekali saja pemerintah bertingkah, kami bisa menjatuhkan rezim manapun…”
Adalah Bujang, si tukang jagal
nomor satu, yang menjadi tokoh utama dimana dari sudut pandang dia lah alur
novel ini mengalir. Seperti biasa, tokoh utama yang diciptakan Tere Liye adalah
orang-orang dengan karakter kuat, cerdas, berprinsip teguh, masa depannya
gilang gemilang. Namun mereka ini penuh dengan masa lalu yang sangat keras dan
menyedihkan. Beberapa diantaranya penuh dendam akan masa lalu. Sebut saja
seperti Thomas (Negeri Para Bedebah & Negeri Di Ujung Tanduk), Tania (Daun
Yang Jatuh Tidak Pernah Membenci Angin), Ray (Rembulan Tenggelam Di Wajahmu), Tegar
(Sunset Bersama Rosie), Karang (Moga Bunda Disayang Allah), Dalimunte (bukan
tokoh utama sih, dalam Bidadari-Bidadari Surga). Nah satu geng lah si Bujang
ini dengan orang-orang tadi. Kuat fisik, cerdas, berprinsip, terdidik dan
terpelajar. Dan paling penting: tidak punya rasa takut akan apapun. Sampai suatu
hari akibat dari pengkhianatan dari Keluarga Tong sendiri lah yang membuat rasa
takutnya kembali.
Jika sudah pernah membaca sekuel Negeri
Para Bedebah dan Negeri Di Ujung Tanduk, pressure ceritanya bisa dikatakan
mirip. Membacanya seperti membayangkan film action laga di dalam kepala. Adegan
perkelahian, penggunaan berbagai macam senjata, kendaraan super canggih,
pertemuan-pertemuan antar negara. Walaupun
begitu secara gagasan utama sebagai titik mula darimana alur cerita ini
berawal, bisa dikatakan antara Pulang dengan sekuel Negeri Para Bedebah itu
justru saling berkebalikan. Sekuel Negeri Para Bedebah menceritakan sistem yang
tampak di permukaan, mereka walaupun licik dan penuh siasat, mereka berada di
dunia yang rasional dan penuh peraturan yang kaku, sekalipun tetap saja mereka
lihai berkelit sana-sini. Sedangkan Pulang, seperti yang sudah dikatakan
sebelumnya, Pulang menceritakan sistem bawah tanah yang tak tergapai oleh
sembarang orang, yang tak tampak oleh semua orang. Begitu juga tokoh utamanya.
Thomas dan Bujang adalah kebalikan. Bukan secara karakter, namun secara tempat
dan cara mereka berprofesi. Konsultan ekonomi dan politik yang handal, dengan
tukang jagal nomor satu dalam shadow
economy yang tidak tampak.
Ada juga tokoh utama lain seperti
Tauke Besar yang membesarkan Bujang dan juga sangat mempercayai Bujang. Kemudian
tokoh-tokoh lain yang walaupun bukan tokoh utama namun berperan besar dalam
kelangsungan cerita dan tentu saja pada kelangsungan hidup tokoh utama. Sebut saja
seperti Kopong, ketua tukang pukul di Keluarga Tong yang sangat menyayangi
Bujang, Basyir si Arab salah satu tukang pukul terkuat yang bangga dengan identitasnya
sebagai pasukan berkuda suku Bedouin. Parwez, si India pemimpin perusahaan yang
halus hatinya, dan juga halus sekali mentalnya. Serta Mamak dan Bapak Bujang
yang ternyata memiliki rahasia yang mengiris hati, yang tak pernah Bujang
ketahui seumur hidupnya.
“Aku tahu sekarang, lebih banyak luka di hati Bapakku dibanding di tubuhnya. Juga mamakku, lebih banyak tangis di hati mamak dibanding di matanya”
Penyajian alur cerita walaupun
dengan alur maju-mundur, tetap seru dan cukup efektif memberikan pressure yang
menegangkan. Hanya saja dibanding Negeri Para Bedebah (maupun Negeri Di ujung
Tanduk), alur cerita Pulang terasa tidak seterdesak dan segenting ‘kakak-kakaknya’.
Dua sekuel tersebut selalu berpacu dengan sempitnya waktu, sempitnya ruang
gerak, serta berlalu lalang dengan kesempatan-kesempatan yang hilang atau
justru kesempatan-kesempatan yang tidak terduga. Sedangkan Pulang, lebih
bercerita tentang kegiatan dan keseharian mereka di shadow economy. Tidak terlalu banyak adegan yang berpacu dengan
waktu. Tingkat ketegangannya masih sedikit, sekali lagi, sedikit di bawah
sekuel sebelumnya. Saya rasa karena di bagian alur mundurnya terasa cukup lama
dan panjang—sampai satu bab, setiap kali menceritakan masa lalu—sehingga ketika
kembali ke alur maju (masa depan) di bab selanjutnya, pembaca sudah sedikit
kehilangan momen menegangkan yang sebelumnya sudah terbangun. Ketegangannya
terputus karena menceritakan latar belakang di masa lalu. Tapi itu sedikit saja
kok. Overall, novel ini tetap sangat seru, penuh sudut pandang yang tak
terduga, dan tetap bisa memuaskan
pembacanya.
Bicara arti Pulang, maka Pulang disini tidak
selalu bermaksud untuk kembali pada suatu tempat atau kembali pada seseorang. Namun
pulang disini berarti kembali pada sesuatu yang menjadi hakikat, kembali pada
sesuatu yang dimana hal tersebut tetap menanti untuk didatangi kembali, sejauh
apapun kita sudah berlari. Kembali pada diri sendiri. Saya suka sekali cara
Tere Liye memaknai Pulang, memberikan makna yang mungkin belum disadari semua
orang.
Akhir kata, saya ingin menutup
dengan mengutip salah satu quotes favorit yang diambil dari novel Pulang ini.
“Ketahuilah Nak, hidup ini tidak pernah tentang mengalahkan siapapun. Hidup ini hanya tentang kedamaian di hatimu. Saat kau mampu berdamai, maka saat itulah kau telah memenangkan seluruh pertempuran…”
Selamat membaca! Selamat Pulang! :)))
tegar, :') favorit
ReplyDeletethomas! the best one :D
Delete