Judul Buku
|
Hujan
|
Penulis
|
Tere Liye
|
Penerbit
|
Gramedia Pustaka Utama
|
Tebal
|
318 halaman
|
Tahun terbit
|
Februari 2016 (cetakan ketujuh)
|
Harga
|
Rp 68.000, 00
|
Toko
|
Gramedia Pekanbaru
|
Ada yang sudah membaca Novel Hujan karya Tere Liye ini? Novel ini sudah cukup fenomenal di kalangan para pengemarnya bahkan sebelum terbit. Tere Liye sempat memberikan sedikit sneak peek yang membuat penggemarnya penasaran untuk segera membeli novel Hujan setelah terbit nantinya.
Novel ini dilatarbelakangi kehidupan di masa depan pada tahun 2042. Diawali dengan seorang perempuan bernama Lail yang sedang duduk di sebuah ruangan demi melakukan ‘operasi’ untuk menghilangkan ingatan. Teknologi pada saat itu sudah memungkinkan bagi seseorang untuk menghapus memori atau kenangan yang tak diinginkannya. Lantas, apa yang membuat Lail ingin melakukan ‘operasi’ tersebut? Dari sinilah seluruh cerita dimulai.
Hari pertama Lail akan bersekolah sebagai
siswa menengah pertama, bencana besar melanda seluruh dunia dengan meletusnya
sebuah gunung yang mengakibatkan gempa yang sangat besar dan tsunami di
beberapa tempat. Bencana ini menyebabkan Lail kehilangan orang tuanya, bahkan
hampir kehilangan nyawanya sendiri jika bukan karena seseorang yang sigap menolongnya. Dia adalah
Esok, laki-laki jenius yang berusia lebih tua 3 tahun diatasnya. Sejak hari
itu, Lail tidak memiliki siapapun lagi kecuali Esok sebagai sahabat sekaligus
sebagi seseorang yang selalu ada dalam hari-harinya selama di pengungsian.
“Hari itu perasaan
tersebut belum tumbuh. Lail masih anak perempuan tiga belas tahun. Bertahun-tahun
kemudian dia baru mengerti. Dia tidak ingin hanya dianggap seperti adik.”
Sampai akhirnya mereka berpisah dalam waktu
yang cukup lama dan bertemu sesekali jika Esok sempat mengunjungi. Berkomunikasi via mobile pun sangat minim karena Esok hampir tak punya waktu, dan Lail
sadar akan hal tersebut sehingga khawatir akan menganggu kesibukan si jenius yang
sudah kuliah di universitas saat itu. Bertahun-tahun berlalu dengan kesibukan mereka masing-masing Untung Lail punya sahabat baru sekaligus roommate-nya di asrama, yaitu Maryam, si
kribo yang unik. Maryam yang akhirnya selalu menemani Lail, mengajaknya
mengikuti kegiatan relawan, menghias kue, mendengarkan Lail kalau sedang rindu-rindunya pada Esok, sekaligus suka usil dan bikin rusuh.
“…Mereka hanya duduk
bersama selama satu jam, setelah setahun tidak bertemu. Sebentar sekali
dibandingkan 365 hari. Tapi bagi Lail, itu lebih dari cukup, dia sudah sangat
senang. Rasa senang yang bisa membuatnya sabar menunggu setahun lagi.”
Seiring dengan itu, iklim dunia pun berubah
sebagai akibat bencana letusan gunung berapi yang mahadahsyat beberapa tahun
yang lalu. Musim dingin yang berkepanjangan di sejumlah negara menyebabkan para
petinggi untuk melakukan percobaan yang berbahaya terhadap stratosfer demi
mengubah iklim dan cuaca di negara mereka.
“Malam itu bencana
baru telah datang. Tidak seperti gunung meletus yang akibatnya langsung
terlihat, kali ini rantai akibat-nya panjang dan tidak terlihat solusinya”
Sebagai
penggemar saya berusaha sekali mempertahankan keinginan untuk mengatakan
bahwa novel ini sama high-recommended-nya
seperti Negeri Para Bedebah dan Negeri Di Ujung Tanduk. Bukan berarti novel ini buruk. Hujan adalah novel yang bagus, dengan
settingan yang butuh riset sekaligus imajinasi luar biasa. Apalagi beberapa
bagian terasa menegangkan dan membuat penasaran.
Meskipun begitu, novel ini terasa sedikit lebih ‘membosankan’. Kenapa membosankan-nya pakai tanda kutip? Karena bagaimanapun,
novel ini tetap berhasil menggiring saya untuk tetap menyelesaikan membacanya sampai
akhir. Hanya saja, saya merasa terseret-seret untuk menyelesaikannya, gak
terlalu bikin candu, gak terlalu kepengen menyelesaikannya dalam satu kali
duduk berjam-jam. Ada jeda beberapa kali dan rentangnya cukup lama untuk
membacanya sampai akhir.
Membosankan, pertama karena tokoh utamanya: Lail.
Karakter tokoh
utama,
yaitu Lail, justru tidak ada karakter. Malah Maryam, sahabatnya yang memiliki
kepribadian menarik dan selalu mampu mengajak Lail pada kegiatan-kegiatan
positif seperti mendaftar jadi relawan. Lail seperti
perempuan umum dan bertingkah seperti figuran. Emosinya
tidak tampak, caranya berusaha keras memendam emosi tidak tampak, tidak punya
kebiasaan khusus yang menarik kecuali senang menjadi relawan, menghias kue dan menikmati hujan. Lail adalah tokoh utama dengan karakter sifat
yang datar dan biasa-biasa saja.
Karakter Lail sebagai tokoh utama tentunya akan
‘kalah telak’ dengan karakter tokoh-tokoh utama di novel Tere Liye sebelumnya. Katakanlah
seperti Thomas, Ray, Delisa, Tegar, Tania dan kawan-kawan yang secara umum
adalah tokoh dengan prestasi yang cemerlang namun diikuti dengan masa lalu yang
pahit dan menyakitkan, seperti yang pernah saya jelaskan sebelumnya. Yang jelas karakter tokoh-tokoh utama novel Tere Liye
sebelumnya adalah orang-orang yang punya sikap dan watak yang istimewa, entah
itu sebagai protogonis ataupun ‘antagonis’. Tidak seperti Lail, yang entah bagaimana
kelihatan seperti kosong karakter, kebanting dah sama tokoh utama sebelumnya. Esok
pun juga tidak terlalu istimewa, walaupun dia jenius dan sebenarnya cukup bikin
penasaran juga :3
Kemudian yang menurut saya cukup menganggu adalah proses pemulihan bencana yang sebagian besar menjadi latar keadaan novel ini. Untuk
ukuran bencana luar biasa yang mengabiskan 90% penduduk di bumi, pemulihan bencana terhitung sangat cepat dan terasa tidak
mungkin. Seminggu sudah ada tenda, kemudian sanitasi air, kemudian listrik
hidup, dll. Seolah itu hanyalah masalah bencana regional dan kerusakan
infrastruktur yang akan pulih dalam waktu dekat. Seolah tidak
ada duka mendalam yang terjadi di dunia pada saat itu. Semuanya berjalan seolah
semua sistem berjalan dengan lancar. Seharusnya
dengan hilangnya sumber daya manusia sebesar 90% maka yang terjadi adalah
kelumpuhan dimana-mana. Dengan besarnya gempa, tsunami, sampai hilangnya dua
benua, seharusnya yang terjadi adalah 10% manusia yang tertinggal akan mengalami kesulitan dengan sumber
daya terbatas dan segala-galanya sedang mengalami kehancuran dan kerusakan. Mereka
akan mengalami shock yang mendalam dan kesulitan bertahan hidup bahkan untuk
diri sendiri, sampai waktu yang tak dapat ditentukan.
Saya membayangkan keadaan setelah bencana dalam novel ini ini kira-kira seperti dalam film Independence Day atau 2012. Kalau dalam keadaan seperti itu, sulit rasanya bagi mereka untuk menyempatkan diri saling membantu, mengumpulkan marinir dan seluruh tim relawan, membuat tenda darurat (yang mungkin sudah tenggelam bersama reruntuhan gempa 8 VEI tersebut), sampai membuat sanitasi air bersih, listrik, sistem komunkasi, pendidikan, melanjutkan teknologi canggih yang… waah kok ya bisa? Di sela-sela itu ketidakmungkinan tersebut, sempat pula menye-menye bikin toko kue Ibu Esok untuk tujuan yang sentimentil. Ingat, novel ini dilatarbelakangi bencana yang mahadahsyat yang terjadi di seluruh permukaan Bumi.
Saya membayangkan keadaan setelah bencana dalam novel ini ini kira-kira seperti dalam film Independence Day atau 2012. Kalau dalam keadaan seperti itu, sulit rasanya bagi mereka untuk menyempatkan diri saling membantu, mengumpulkan marinir dan seluruh tim relawan, membuat tenda darurat (yang mungkin sudah tenggelam bersama reruntuhan gempa 8 VEI tersebut), sampai membuat sanitasi air bersih, listrik, sistem komunkasi, pendidikan, melanjutkan teknologi canggih yang… waah kok ya bisa? Di sela-sela itu ketidakmungkinan tersebut, sempat pula menye-menye bikin toko kue Ibu Esok untuk tujuan yang sentimentil. Ingat, novel ini dilatarbelakangi bencana yang mahadahsyat yang terjadi di seluruh permukaan Bumi.
Teman saya berpendapat, mungkin hal tersebut dapat dimaklumi karena latar waktu yang
berlangsung pada tahun 2042 dan semuanya sudah canggih, sehingga semuanya lebih mudah
teratasi. Tapi, saya melihat bahwa latar tahun 2042 dalam novel ini tidak mampu menolong dan tidak cukup
kuat untuk dijadikan alasan kenapa pemulihan bisa
dilakukan secepat itu, berikut dengan sistem-sistem di seluruh sektor yang sudah tertata apik. Apalagi dengan sebagian besar kecanggihan 2042 (yang
seharusnya) sudah terkubur bersama 90% manusia yang
punah dalam bencana itu, bagaimana mungkin secepat itu pemulihannya?
Ada juga yang sedikit menganggu, yaitu ada
beberapa kalimat atau beberapa idiom yang terasa
familiar dengan novel sebelum-sebelumnya. Seperti diulang-ulang. Tapi baiklah, hal itu
bisa di-skip saja, tidak begitu masalah. Masih tetap oke.
Lalu apa yang membuat saya menyelesaikannya
sampai akhir? Karena saya penasaran apa yang sebenarnya terjadi pada Lail
sehingga dia ingin menghapus memorinya? Kemana sebenarnya cerita ini nantinya
bermuara? Saya seolah ingin menebak alurnya akan happy ending untuk Lail dan
Esok, tapi tidak berani berharap banyak. Tere Liye terkadang demi menyelaraskan
dengan kenyataan di kehidupan nyata yang tidak selalu seperti yang diharapkan, bisa saja
beliau ‘tega’ membuatkan ending yang tak diinginkan untuk novel ini. Seperti
yang dilakukannya pada Sunset Bersama
Rosie dan Daun yang Jatuh Tidak
Pernah Membenci Angin. Apalagi dalam novel ini, makin ke belakang
ceritanya, makin diberi tanda-tanda, makin diberikan harapan, tapi makin jelas ketidakpastian yang diberikan, terutama dari sisi Esok. Waaaah,
ini baru seru dan bikin gregetan :D
“Bukankah dia bukan
siapa-siapa Esok, hanya anak kecil yang pernah diselamatkan. Lihatlah, Esok
yang sekarang sudah bukan yang dulu”
Alur yang dibuat maju-mundur pun sukses
membangun ketegangan walaupun mulai serunya ketika sudah sekitar di sepertiga akhir novel. Saya
makin khawatir dan makin kasian pada Lail yang sudahlah kebanyakan merana,
harus pula dikasih sad ending. Tapi akhirnya
saya menyukai ending yang diputuskan Tere Liye setelah begitu banyak
kekhawatiran saya pada novel ini. Walaupun dengan segala resiko dan keadaan yang
ada di Bumi, ternyata kesabaran dan merelakan sepenuh hati akan seluruh hal yang
menyakitkan bisa menyelesaikan banyak hal. Termasuk juga untuk menyelesaikan salah satu
masalah dalam novel ini. Banyak juga kutipan yang bisa petik sebagai pelajaran.
Akhir kata, saya ingin menutup dengan quotes
kesukaan saya, yang saya kutip dari novel ini.
“…Hanya orang-orang
yang kuatlah yang bisa melepaskan sesuatu, orang-orang yang berhasil
menaklukkan diri sendiri. Meski terasa sakit, menangis, marah-marah tapi pada
akhirnya bisa tulus melepaskan, maka dia telah berhasil menaklukkan diri
sendiri”
“Ada orang-orang
yang kemungkinan sebaiknya cukup menetap dalam hati kita saja, tapi tidak
tinggal dalam hidup kita. Maka biarlah begitu adanya, biar menetap di hati,
diterima dengan lapang dada. Toh dunia ini selalu ada miseri yang tidak bisa
dijelaskan. Menerimanya dengan baik justru membawa kedamaian”
Selamat membaca. Selamat Musim Hujan! :)))
Waktu itu mau beli novel hujannya Tere Liye. Ujung-ujungnya malah beli bukunya Boy Candra XD
ReplyDeleteKalau untuk novel tere liye sendiri, yang mau kamu rekomendasikan buat pembaca yang belum sama sekali mengenal karyanya tere liye dengan novel berjudul apa? Gue ada rencana buat beli salah satu novelnya Tere Liye tapi bingung mau beli yang judulnya apa
hehhe
Salam kenal, mampir juga ya ke blog gue di: rezaandrian.com :)
Haloo rezaaa salam kenal jugaa :D
DeleteSaya rasa tere liye punya semacam 'transformasi' dalam gaya bahasa dari beberapa novelnya. But whatever the meaning of transformation is, tiap2 novelnya bisa dinikmati dgn cara dan kepuasan yg berbeda2. Yg paling High Recommended bagi saya adalah Negeri Para Bedebah, Negeri Di Ujung Tanduk dan salah satu karya awalnya Hafalan Shalat Delisa. Kalau baca Negeri Para Bedebah dan Negeri di ujung tanduk berasa nonton film action laga. Berasa ikutan dalam filmnya malah ahahaha. Hafalan Shalat Delisa juga seru dan mengharukan dengan gaya tulisan yg berbeda. Coba aja novel2 tsb. Mana tau cocok :D
Btw, ada buku/novel yg recommended gak? Bagi dong :D