Saturday, October 15, 2016

Review Novel: Hujan (Tere Liye), Selamat Musim Hujan!







Judul Buku
Hujan
Penulis
Tere Liye
Penerbit
Gramedia Pustaka Utama
Tebal
318 halaman
Tahun terbit
Februari 2016 (cetakan ketujuh)
Harga
Rp 68.000, 00
Toko
Gramedia Pekanbaru


Ada yang sudah membaca Novel Hujan karya Tere Liye ini? Novel ini sudah cukup fenomenal di kalangan para pengemarnya bahkan sebelum terbit. Tere Liye sempat memberikan sedikit sneak peek yang membuat penggemarnya penasaran untuk segera membeli novel Hujan setelah terbit nantinya.

Novel ini dilatarbelakangi kehidupan di masa depan pada tahun 2042. Diawali dengan seorang perempuan bernama Lail yang sedang duduk di sebuah ruangan demi melakukan ‘operasi’ untuk menghilangkan ingatan. Teknologi pada saat itu sudah memungkinkan bagi seseorang untuk menghapus memori atau kenangan yang tak diinginkannya. Lantas, apa yang membuat Lail ingin melakukan ‘operasi’ tersebut? Dari sinilah seluruh cerita dimulai.

Hari pertama Lail akan bersekolah sebagai siswa menengah pertama, bencana besar melanda seluruh dunia dengan meletusnya sebuah gunung yang mengakibatkan gempa yang sangat besar dan tsunami di beberapa tempat. Bencana ini menyebabkan Lail kehilangan orang tuanya, bahkan hampir kehilangan nyawanya sendiri jika bukan karena seseorang yang sigap menolongnya. Dia adalah Esok, laki-laki jenius yang berusia lebih tua 3 tahun diatasnya. Sejak hari itu, Lail tidak memiliki siapapun lagi kecuali Esok sebagai sahabat sekaligus sebagi seseorang yang selalu ada dalam hari-harinya selama di pengungsian.

“Hari itu perasaan tersebut belum tumbuh. Lail masih anak perempuan tiga belas tahun. Bertahun-tahun kemudian dia baru mengerti. Dia tidak ingin hanya dianggap seperti adik.”



Sampai akhirnya mereka berpisah dalam waktu yang cukup lama dan bertemu sesekali jika Esok sempat mengunjungi. Berkomunikasi via mobile pun sangat minim karena Esok hampir tak punya waktu, dan Lail sadar akan hal tersebut sehingga khawatir akan menganggu kesibukan si jenius yang sudah kuliah di universitas saat itu. Bertahun-tahun berlalu dengan kesibukan mereka masing-masing Untung Lail punya sahabat baru sekaligus roommate-nya di asrama, yaitu Maryam, si kribo yang unik.  Maryam yang akhirnya selalu menemani Lail, mengajaknya mengikuti kegiatan relawan, menghias kue, mendengarkan Lail kalau sedang rindu-rindunya pada Esok, sekaligus suka usil dan bikin rusuh.

“…Mereka hanya duduk bersama selama satu jam, setelah setahun tidak bertemu. Sebentar sekali dibandingkan 365 hari. Tapi bagi Lail, itu lebih dari cukup, dia sudah sangat senang. Rasa senang yang bisa membuatnya sabar menunggu setahun lagi.”

Seiring dengan itu, iklim dunia pun berubah sebagai akibat bencana letusan gunung berapi yang mahadahsyat beberapa tahun yang lalu. Musim dingin yang berkepanjangan di sejumlah negara menyebabkan para petinggi untuk melakukan percobaan yang berbahaya terhadap stratosfer demi mengubah iklim dan cuaca di negara mereka.

“Malam itu bencana baru telah datang. Tidak seperti gunung meletus yang akibatnya langsung terlihat, kali ini rantai akibat-nya panjang dan tidak terlihat solusinya”

Sebagai penggemar saya berusaha sekali mempertahankan keinginan untuk mengatakan bahwa novel ini sama high-recommended-nya seperti Negeri Para Bedebah dan Negeri Di Ujung Tanduk. Bukan berarti novel ini buruk. Hujan adalah novel yang bagus, dengan settingan yang butuh riset sekaligus imajinasi luar biasa. Apalagi beberapa bagian terasa menegangkan dan membuat penasaran.

Meskipun begitu, novel ini terasa sedikit lebih ‘membosankan. Kenapa membosankan-nya pakai tanda kutip? Karena bagaimanapun, novel ini tetap berhasil menggiring saya untuk tetap menyelesaikan membacanya sampai akhir. Hanya saja, saya merasa terseret-seret untuk menyelesaikannya, gak terlalu bikin candu, gak terlalu kepengen menyelesaikannya dalam satu kali duduk berjam-jam. Ada jeda beberapa kali dan rentangnya cukup lama untuk membacanya sampai akhir.

Membosankan, pertama karena tokoh utamanya: Lail.

Karakter tokoh utama, yaitu Lail, justru tidak ada karakter. Malah Maryam, sahabatnya yang memiliki kepribadian menarik dan selalu mampu mengajak Lail pada kegiatan-kegiatan positif seperti mendaftar jadi relawan. Lail seperti perempuan umum dan bertingkah seperti figuran. Emosinya tidak tampak, caranya berusaha keras memendam emosi tidak tampak, tidak punya kebiasaan khusus yang menarik kecuali senang menjadi relawan, menghias kue dan menikmati hujan. Lail adalah tokoh utama dengan karakter sifat yang datar dan biasa-biasa saja.

Karakter Lail sebagai tokoh utama tentunya akan ‘kalah telak’ dengan karakter tokoh-tokoh utama di novel Tere Liye sebelumnya. Katakanlah seperti Thomas, Ray, Delisa, Tegar, Tania dan kawan-kawan yang secara umum adalah tokoh dengan prestasi yang cemerlang namun diikuti dengan masa lalu yang pahit dan menyakitkan, seperti yang pernah saya jelaskan sebelumnya. Yang jelas karakter tokoh-tokoh utama novel Tere Liye sebelumnya adalah orang-orang yang punya sikap dan watak yang istimewa, entah itu sebagai protogonis ataupun ‘antagonis’. Tidak seperti Lail, yang entah bagaimana kelihatan seperti kosong karakter, kebanting dah sama tokoh utama sebelumnya. Esok pun juga tidak terlalu istimewa, walaupun dia jenius dan sebenarnya cukup bikin penasaran juga :3

Kemudian yang menurut saya cukup menganggu adalah proses pemulihan bencana yang sebagian besar menjadi latar keadaan novel ini. Untuk ukuran bencana luar biasa yang mengabiskan 90% penduduk di bumi, pemulihan bencana terhitung sangat cepat dan terasa tidak mungkin. Seminggu sudah ada tenda, kemudian sanitasi air, kemudian listrik hidup, dll. Seolah itu hanyalah masalah bencana regional dan kerusakan infrastruktur yang akan pulih dalam waktu dekat. Seolah tidak ada duka mendalam yang terjadi di dunia pada saat itu. Semuanya berjalan seolah semua sistem berjalan dengan lancar. Seharusnya dengan hilangnya sumber daya manusia sebesar 90% maka yang terjadi adalah kelumpuhan dimana-mana. Dengan besarnya gempa, tsunami, sampai hilangnya dua benua, seharusnya yang terjadi adalah 10% manusia yang tertinggal akan mengalami kesulitan dengan sumber daya terbatas dan segala-galanya sedang mengalami kehancuran dan kerusakan. Mereka akan mengalami shock yang mendalam dan kesulitan bertahan hidup bahkan untuk diri sendiri, sampai waktu yang tak dapat ditentukan.

Saya membayangkan keadaan setelah bencana dalam novel ini  ini kira-kira seperti dalam film Independence Day atau 2012. Kalau dalam keadaan seperti itu, sulit rasanya bagi mereka untuk menyempatkan diri saling membantu, mengumpulkan marinir dan seluruh tim relawan, membuat tenda darurat (yang mungkin sudah tenggelam bersama reruntuhan gempa 8 VEI tersebut), sampai membuat sanitasi air bersih, listrik, sistem komunkasi, pendidikan, melanjutkan teknologi canggih yang… waah kok ya bisa? Di sela-sela itu ketidakmungkinan tersebut, sempat pula menye-menye bikin  toko kue Ibu Esok untuk tujuan yang sentimentil. Ingat, novel ini dilatarbelakangi bencana yang mahadahsyat yang terjadi di seluruh permukaan Bumi.

Teman saya berpendapat, mungkin hal tersebut dapat dimaklumi karena latar waktu yang berlangsung pada tahun 2042 dan semuanya sudah canggih, sehingga semuanya lebih mudah teratasi. Tapi, saya melihat bahwa latar tahun 2042 dalam novel ini tidak mampu menolong dan tidak cukup kuat untuk dijadikan alasan kenapa pemulihan bisa dilakukan secepat itu, berikut dengan sistem-sistem di seluruh sektor yang sudah tertata apik. Apalagi dengan sebagian besar kecanggihan 2042 (yang seharusnya) sudah terkubur bersama 90% manusia yang punah dalam bencana itu, bagaimana mungkin secepat itu pemulihannya?

Ada juga yang sedikit menganggu, yaitu ada beberapa kalimat atau beberapa idiom yang terasa familiar dengan novel sebelum-sebelumnya. Seperti diulang-ulang. Tapi baiklah, hal itu bisa di-skip saja, tidak begitu masalah. Masih tetap oke.

Lalu apa yang membuat saya menyelesaikannya sampai akhir? Karena saya penasaran apa yang sebenarnya terjadi pada Lail sehingga dia ingin menghapus memorinya? Kemana sebenarnya cerita ini nantinya bermuara? Saya seolah ingin menebak alurnya akan happy ending untuk Lail dan Esok, tapi tidak berani berharap banyak. Tere Liye terkadang demi menyelaraskan dengan kenyataan di kehidupan nyata yang tidak selalu seperti yang diharapkan, bisa saja beliau ‘tega’ membuatkan ending yang tak diinginkan untuk novel ini. Seperti yang dilakukannya pada Sunset Bersama Rosie dan Daun yang Jatuh Tidak Pernah Membenci Angin. Apalagi dalam novel ini, makin ke belakang ceritanya, makin diberi tanda-tanda, makin diberikan harapan, tapi makin jelas ketidakpastian yang diberikan, terutama dari sisi Esok. Waaaah, ini baru seru dan bikin gregetan :D

“Bukankah dia bukan siapa-siapa Esok, hanya anak kecil yang pernah diselamatkan. Lihatlah, Esok yang sekarang sudah bukan yang dulu”

Alur yang dibuat maju-mundur pun sukses membangun ketegangan walaupun mulai serunya ketika sudah sekitar di sepertiga akhir novel. Saya makin khawatir dan makin kasian pada Lail yang sudahlah kebanyakan merana, harus pula dikasih sad ending. Tapi akhirnya saya menyukai ending yang diputuskan Tere Liye setelah begitu banyak kekhawatiran saya pada novel ini. Walaupun dengan segala resiko dan keadaan yang ada di Bumi, ternyata kesabaran dan merelakan sepenuh hati akan seluruh hal yang menyakitkan bisa menyelesaikan banyak hal. Termasuk juga untuk menyelesaikan salah satu masalah dalam novel ini. Banyak juga kutipan yang bisa petik sebagai pelajaran.

Akhir kata, saya ingin menutup dengan quotes kesukaan saya, yang saya kutip dari novel ini.

“…Hanya orang-orang yang kuatlah yang bisa melepaskan sesuatu, orang-orang yang berhasil menaklukkan diri sendiri. Meski terasa sakit, menangis, marah-marah tapi pada akhirnya bisa tulus melepaskan, maka dia telah berhasil menaklukkan diri sendiri”

“Ada orang-orang yang kemungkinan sebaiknya cukup menetap dalam hati kita saja, tapi tidak tinggal dalam hidup kita. Maka biarlah begitu adanya, biar menetap di hati, diterima dengan lapang dada. Toh dunia ini selalu ada miseri yang tidak bisa dijelaskan. Menerimanya dengan baik justru membawa kedamaian”

Selamat membaca. Selamat Musim Hujan! :)))








2 comments:

  1. Waktu itu mau beli novel hujannya Tere Liye. Ujung-ujungnya malah beli bukunya Boy Candra XD
    Kalau untuk novel tere liye sendiri, yang mau kamu rekomendasikan buat pembaca yang belum sama sekali mengenal karyanya tere liye dengan novel berjudul apa? Gue ada rencana buat beli salah satu novelnya Tere Liye tapi bingung mau beli yang judulnya apa
    hehhe
    Salam kenal, mampir juga ya ke blog gue di: rezaandrian.com :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haloo rezaaa salam kenal jugaa :D
      Saya rasa tere liye punya semacam 'transformasi' dalam gaya bahasa dari beberapa novelnya. But whatever the meaning of transformation is, tiap2 novelnya bisa dinikmati dgn cara dan kepuasan yg berbeda2. Yg paling High Recommended bagi saya adalah Negeri Para Bedebah, Negeri Di Ujung Tanduk dan salah satu karya awalnya Hafalan Shalat Delisa. Kalau baca Negeri Para Bedebah dan Negeri di ujung tanduk berasa nonton film action laga. Berasa ikutan dalam filmnya malah ahahaha. Hafalan Shalat Delisa juga seru dan mengharukan dengan gaya tulisan yg berbeda. Coba aja novel2 tsb. Mana tau cocok :D

      Btw, ada buku/novel yg recommended gak? Bagi dong :D

      Delete