Tuesday, December 22, 2015

Masih Di Simulasi Sidang : Hati Yang Baik



Masih di simulasi sidang dimana saya dan Indra menjadi MOT-nya. Di akhir simulasi saya bicara begini pada Indra.

“Ndra. Harusnya aku dari dulu berbesar hati untuk menerima orang-orang di sekitar aku, orang-orang yang bekerja sama dengan aku. Harusnya aku berbesar hati mau mengakui kesalahan sendiri, yang tidak bisa menerima mereka ini. Tapi udah telat kali rasanya aku mau berbesar hati. Harusnya bagaimanapun sikap mereka, aku harus maklum kan? Mereka kan juga gak sengaja bermaksud begitu.”

Lantas Indra yang (sok) bijak ini bilang,

“Pea, hati yang baik salah satunya hati yang mau memaafkan. Pea maafkan saja mereka, pea maafkan juga diri pea sendiri. Kan pada dasarnya gak ada yang berniat saling menyakiti disini. Cuma memang sudah begini adanya keadaan yang ada”

Yah, memang tidak ada yang berniat untuk menyakiti siapapun disini. Dan kita memang gak bisa menghakimi seseorang begini begitu, seolah salah dia sepenuhnya, tanpa melihat kembali apa yang sudah kita lakukan padanya. Atau yang sudah kita balaskan padanya, atas apapun yang dia lakukan. Terlepas dari sesedih atau semarah apapun perasaan kita karena tidak sengajanya ucapan atau prilaku mereka, hati yang baik akan tetap mau memaafkan, bukan?

Saya juga teringat saat kami KKN, kami akan mengerjai ulang tahun Frans dengan brieifing besar habis-habisan. Kebetulan pula ‘bahan  brieifingnya’ tidak dibuat-buat dan yang semua yang dikatakan dalam briefing saat itu benar adanya. Pas banget deh masalahnya sama si Frans yang lagi berulang tahun. Habis sudah beliau ini disudutkan dalam briefing saat itu (sebelum surprisenya di ujung cerita nanti). Afdal pun jadi mediator yang netral. Kadang dia marah sama Frans, kadang dia terkesan juga membela Frans, kadang dia juga marahin yang lain, terakhir malah nyolot abis ke saya dan meletuslah perang: “Ini briefing, pantang!” -..- Perang yang memulai surprisenya hahaha.

Ih kok jadi gak fokus =.=

Oke, kembali pada apa yang seharusnya saya ceritakan.

Afdal sambil menyertika dan dan memunggungi forum bilang, “Udahlah ini brieifing kerjanya menghukum-hukum orang. Kita disini makan pakai uang orang tua kita, bukan pakai uang kawan kita. Anak orang susah dikasih makan, malah dihakim-hakimi, dihukum-hukum, disudutkan seolah dia aja yang salah. Kenapa coba yang lain gak pada ingatin kalau udah tau dia salah. Ini ikut-ikutan pula menghakimi. Siapa yang bongak coba”

Kalau diingat-ingat, apa yang dikatakan Afdal benar adanya, sekalipun tujuannya untuk mengerjai Frans yang sedang (sial) berulang tahun. Ulang tahun Frans memang sudah lama sekali, tapi kata-kata Afdal baru ngena banget bagi saya justru sekarang. Dengan apa yang sudah terjadi sekarang.

Padahal paling tidak secara profesional (tak usah secara personal) saya harusnya mau menerima yang ada: kesombongan, kepolosan, kemasabodohan,  dan sebagian lainnya. Atau lebih tepatnya menerima kesombongan yang terperangkap dalam kepolosan, yang menyebabkan orang lain mengalami kemasabodohan.

Astaghfirullahalladzim =..=

Uh, yang paling penting adalah, mau semarah apapun kita dibuatnya, sesedih apapun kita dibuatnya, pada dasarnya mereka tak pernah bermaksud seperti itu. Benar yang Indra katakan, keadaan itu sudah begini adanya. Seolah sudah 'sunatullah'-nya seperti ini. Kita cukup menerimanya saja. Apa adanya.

Gak tau musti ngerasa bagaimana. Tapi saya akui kesalahan saya yang tak mau berbesar hati dengan hal ini, dengan mereka ini. Toh, yang tidak mau berdamai justru hatinya tidak bisa merasa damai.

Doakan semoga kita dimudahkan memiliki hati yang baik. Hati yang mau berbesar hati menerima. Hati yang selalu mau memaafkan. Hati yang tidak mudah menghakimi orang lain.



sebelumnya saya mau cerita ini sebagai 'pengantar', tapi gak jadi:

No comments:

Post a Comment