Sejak beberapa bulan yang lalu, saya menyadari satu hal. Saya tidak terbiasa lagi menghindari perasaan-perasaan tidak enak,
berpura-pura bahwa perasaan tersebut tidak ada, berpura-pura bahwa saya tidak merasakannya. Dengan kemudian membawanya tidur lantas berharap saat bangun perasaan-perasaan buruk tersebut sudah terlupakan. Ternyata tidak efektif sama sekali. Semakin saya dewasa, sikap seperti ini sudah tidak relevan lagi. Ada gemuruh yang membikin nyeri di dalam dada ketika saya tahu saya merasakannya, tapi saya tidak mau ambil pusing tentang apa yang akan saya perbuat dengan perasaan-perasaan tersebut—selain lari sejauh-jauhnya. Kenyataan bahwa
saya tidak mampu mengatasinya dengan cepat kemudian menghindar (dan selalu disadari terakhir), membuat saya jadi kesal luar biasa pada diri sendiri. Saya sendiri bingung karena di luar sana ada begitu banyak orang yang melakukan hal yang sama seperti saya. Melupakan perasaan buruk/negatifnya hanya dengan tidak mau memikirkannya. Tapi saya sudah terlalu sering melakukannya sehingga akhirnya saya menyadari, saya tidak bisa terbiasa lagi berhutang perasaan pada diri sendiri dengan berpura-pura menganggapnya tak ada.
Padahal segala macam perasaan adalah fitrahnya manusia untuk dirasakan. Baik ataupun buruk sifat perasaan tersebut, kita cukup menjalani dan merasakannya saja. Jatah kita, jangankan untuk urusan yang lebih kompleks seperti rezeki, pekerjaan, jodoh, cita-cita, untuk perasaan saja kita sudah dijatah oleh Tuhan dengan pertimbangan yang baik dari-Nya. Kita cukup menjalani dan merasakannya. Padahal hal tersebut sudah sering saya ulang-ulang di berbagai kesempatan.
Maka untuk kebaikan saya sendiri, saya tidak lagi menghindar saat diri saya sendiri bertanya: “Apa yang sebenarnya kamu rasakan?”. Dengan cepat saya akan mengakui apapun perasaan saya saat itu, menerimanya bulat-bulat, apapun bentuknya, dengan jujur dan apa adanya. Sepahit atau seburuk atau sememalukan apapun perasaan itu. Iya, ini marah, ini benci, ini cemburu, ini kecewa, ini jengkel luar biasa, ini khawatir karena penilaian orang, ini—sebenarnya—masih—suka—tapi—ngotot—bilang—udah—lupa (nah! misalnya gitu. misalnyaaa). Dan pengakuan-pengakuan lain. Semuanya langsung saya akui dan saya terima dengan iklash bahwa itulah sebenarnya yang saya rasakan.
Maka untuk kebaikan saya sendiri, saya tidak lagi menghindar saat diri saya sendiri bertanya: “Apa yang sebenarnya kamu rasakan?”. Dengan cepat saya akan mengakui apapun perasaan saya saat itu, menerimanya bulat-bulat, apapun bentuknya, dengan jujur dan apa adanya. Sepahit atau seburuk atau sememalukan apapun perasaan itu. Iya, ini marah, ini benci, ini cemburu, ini kecewa, ini jengkel luar biasa, ini khawatir karena penilaian orang, ini—sebenarnya—masih—suka—tapi—ngotot—bilang—udah—lupa (nah! misalnya gitu. misalnyaaa). Dan pengakuan-pengakuan lain. Semuanya langsung saya akui dan saya terima dengan iklash bahwa itulah sebenarnya yang saya rasakan.
Dan setelah mengakuinya, ternyata hal ini melegakan sekali. Gemuruh dalam
dada saya menghilang dan napas saya menjadi lebih ringan. Tidak ada beban perasaan
yang harus saya hindar-hindari lagi. Baiklah yang harus saya akui juga adalah jawaban
dari pertanyaan kenapa saya sering menghindari pengakuan
seperti ini? Karena saya malu pada diri sendiri. Hahaha. Bayangkan saja betapa egoisnya seseorang terhadap dirinya sendiri. Sisi dirinya
yang lain ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, sisi satunya lagi
justru menutup-nutupi. Secara gamblang saya bisa gambarkan seperti ini, seperti saat saya malu mengakui pada perasaan saya sendiri bahwa saya cemburu pada seseorang. Saya malu mengakui bahwa saya marah
pada teman saya. (well, ini masih dalam konteks mengaku pada diri sendiri,
bukan mengaku pada orang-orang luar yang terkait dengan perasaan-perasaan
tersebut). Saya tidak ingin tahu dan saya lari kesana kemari supaya
pertanyaan-pertanyaan itu terlupakan seiring berjalannya waktu. Justru di
situlah kesalahan besarnya. Semoga besok tidak terulang lagi. Pokoknya langsung
diakui aja deh daripada capek-capek menahan perasaan dan gak mau menerimanya
bulat-bulat. Menerima dengan iklash dan mengakuinya akan jauh lebih baik. Insya Allah :D
Semoga dapat dimaklumi.
No comments:
Post a Comment