Assalamuallaikum, rindu.
Tadi temanku baru saja membaca puisi—atau doa lebih
tepatnya—yang kubuat untukmu. Mungkin kamu belum baca, tapi tidak apa. Tidak
perlu sampai padamu, yang penting sampai ke Tuhan. Dan Tuhan sampaikan padamu
dalam bentuk pengabulan.
Tapi melihat reaksi teman saya yang biasa saja, barangkali
kamu yang seleranya lebih tinggi akan menganggapnya jauh lebih biasa. Atau
bahkan murahan.
Ih, murahan.
Temanku berpikir begitu, begitupun aku. Menggelikan. Aku yang salah. Tidak sabaran, padahal paham
sekali pentingnya jeda. Jeda antar kata, antar titik, antar waktu, antar nafas,
atau bahkan antar puisi lain. Hahah! Nah jika tidak mementingkan jeda,
kebanting banting lah kita.
Tapi untuk sesuatu yang murahan saja sampai hitam lingkar
mataku dibuatnya. Bukan saat membuat puisinya, tapi efek setelahnya. Lihatlah betapa
bodohnya,. Menangisi yang bukan milik kita, menangisi efek produk murahan pula.
Dan lihat saja betapa marahnya Tuhan nanti. Cemburu
Aku, kata-Nya. Kau menangisi rindumu
pada makhluk-Ku, tapi berapa kali kau sempat menangisi kerinduanmu pada-Ku?
Pantas saja murahan ya?
Tapi yang penting, bukanlah puisinya. Bukan efeknya. Bukan
(kenyataan) betapa murahan pusinya. Namun doanya. Nah itu yang penting.
Semoga kamu mengamini dari jauh dari sana. Tidak perlu
dilihat seberapa murahan puisinya.
Karena sebenarnya doa tetaplah doa. Dan doa yang tulus tidak akan pernah
menjadi murahan bukan?
Salam
Dari yang tidak sabaran.
No comments:
Post a Comment