Apakah manusia lain harus mengerti alasan seseorang dalam
mengambil keputusan? Saya tidak tahu persis. Hal-hal seperti ini kondisonal
sekali, kan? Kadang kita butuh mendengar pendapat dari orang lain, sekalipun
pendapat-pendapat tersebut tidak akan mengubah keputusan akhir kita. Saking
kukuhnya, atau saking bebalnya. Kadang ada juga orang yang (sebenarnya) tidak
ingin mendengar pendapat orang lain, namun saat terdengar bisa saja langsung
memengaruhi keputusan yang diambilnya. Saking toleran-nya, atau saking
linglungnya.
Saya tidak tahu apa yang terjadi. Yang jelas, sejak saya
kuliah saya sudah meminta dan membujuk diri saya untuk terima saja dengan
apapun yang terjadi. Berjanji akan mengikuti arus kemanapun Tuhan mengarahkan. Berjanji
tidak meminta hal-hal yang tidak realistis. Tidak bersikeras hati lagi. Tidak
akan macam-macam dengan cita-cita dan masa depan. Apa yang dikasih, udah,
terima. Pasti itu yang terbaik. Terbalik dengan masa muda saya yang penuh upaya
dan harapan akan cita-cita yang cerah. Saya
yang sekarang bukannya tidak bersemangat, malah sekarang jauh lebih besar
upayanya untuk semangat. Hanya saja sekarang sudah sedikit lebih nrimo. Sedikit aja sih. Ujiankah? Atau hukuman? Kalau sekarang, saya tidak tahu ujian atau hukuman (lagi) dari
Tuhan, saya merasa dikembalikan menjadi anak usia 14 tahun yang tidak
realistis. And full of drama. And seriously, it has really fed me up.