Akhir-akhir ini saya mendapati kondisi tubuh saya sedikit kurang baik,
meriang—apapunlah arti meriang itu. Semua persendian saya pegal-pegal, makan
tidak enak, tidur apalagi. Saya sudah menduga darimana sumbernya. Beberapa
luka—well, dalam artian sebenarnya hahaha—menganga lebar dan sedang dalam tahap
proses penyembuhan awal. Tahu sajalah seperti apa luka yang masih fresh dan kondisinya belum begitu baik. Apalagi kalau lukanya ada di lutut
(paling parah) dan di siku. Tempat-tempat paling ‘strategis’ untuk memperlama penyembuhan luka. Belum lagi ditambah beberapa memar dan luka-luka kecil lainnya. Saya tidak tahu ternyata kondisi saya sampai separah itu, dan pada hari itu saya masih happy-happy saja dengan
segala macam aktifitas. Sampai baru nyadar satu hari setelahnya, “Kok sampai
begini banget?” -__- Dan sambil membereskan tetek bengek luka-luka ini saya
justru kepikiran banyak hal.
***
Pacu Lari Yang Konyol
Dua hari yang lalu
saya baru saja terjatuh saat sedang jogging pagi bersama dua teman saya, Tika
dan Fajar. Murni olahraga jogging, tanpa
foto. Perkara jatuhnya sederhana saja, saya dan Fajar mengolok-ngolok Tika
yang paling malas diajak lari ini. Kami sudah berjalan cukup jauh dari sekre
sampai ke FMIPA, nyaris tanpa lari sedikitpun. Pas diajakin lari, Tika-nya
bilang gak usah aja. Akhirnya kami bersorak-sorak meninggalkan Tika, kemudian
tanpa tedeng aling aling langsung saja berpacu lari sekencang-kencangnya.
Tidak imbang
sebenarnya mengingat Fajar yang jauh lebih tinggi daripada saya .-.
Dan saat itulah,
saat lajunya lari lagi maksimal-maksimalnya, saya menginjak tali sepatu saya
yang tidak terikat dengan baik, yang akhirnya membuat badan terlempar keras
sekali ke aspal, ‘terseret’ di atas jalan sekitar dua meter ke depan. Terpental
begitu saja. Saya tidak menyadari apa yang terjadi sampai akhirnya saya tertawa
saking malunya sebagai respon pertama. Tertawa, sama seperti yang dilakukan
oleh dua teman saya itu hahaha *that’s
why we called them ‘friend’. Mereka menyusuli saya dengan tertawa sampai
terbungkuk-bungkuk, Tika dari arah belakang dan Fajar dari arah depan.
“Tulah, niat larinya
udah gak bener. Kualat kan sama Tika” Tika ngomel-nomel. Sedangkan saya masih
heboh mengkhawatirkan pakaian olahraga saya yang bergesekan dengan aspal, takut
rusak atau bolong. Lebih khawatir pula daripada ke badan sendiri yang luka-luka
atau tidak.
“Woi! Bukan bajunya
dulu yang diliat, luka atau gak badannya?” kata Fajar sambil geleng-geleng
kepala tidak mengerti. Yah namanya
perempuan, Jar. Setelah memastikan bahwa baju saya baik-baik saja, tidak
ada kerusakan sama sekali, barulah saya melihat apakah ada luka atau tidak di
kulit saya =..= Ternyata walaupun masih tertutup dengan pakaian, ada luka besar
sekali di lutut kiri dan di siku kanan. Dan luka-luka kecil lainnya. Dan
setelah dilihat di rumah, ternyata ada beberapa memar besar-besar di pinggang
dan bahu. Waaah..
Tapi berhubung dari dulu saya orangnya emang udah sering jatuh, saya cuek saja. Langsung tancap jogging lagi tanpa mengeluhkan
luka-luka tadi -___-
Setibanya di rumah,
saya masih cuek saja. Tapi tidak lama. Karena tak lama setelah itu saya misuh-misuh, lukanya mulai mengering,
sedangkan lutut selalu bergerak, lukanya robek lagi, mengering lagi, robek
lagi, begitu seterusnya seiring dengan kaki saya yang lasak selalu bergerak ini. Jadilah kaki saya demi menjaga luka tadi
tidak boleh lagi bergerak sembarangan, dan akhirnya menjadi kaku sekali.
Lama-lama saya jadi kesal sendiri. Bukan cuma kaki yang jadi pegal, seluruh
badan juga ikut merasakannya. Belum lagi lukanya yang perih sekali di
sana-sini. Banyak pekerjaan saya yang tertunda karena sibuk dengan luka-luka
ini. Membayangkan bahwa deadline di berbagai tempat yang harus saya selesaikan
akan terbengkalai membuat saya makin kesal. Akhirnya saya mengeluhkan luka saya
habis-habisan. Di luar kamar masih saya bawa ketawa, tapi setelah di dalam
kamar, banyak yang saya sesali. Coba tadi gak pacu lari, coba tadi ngikat tali
sepatunya yang bener, coba kalau begini, coba kalau begitu…
Tapi komentar salah
satu anak kos membuat saya berpikir ulang.
“Astaghfirullah Kak,
kayak jatuh dari motor aja. Masih ketutup baju aja bisa luka parah kayak gini.
Untung bukan pipi kak yang bergesekan sama aspal pas jatuh, atau kening kakak.
Kalau lagi kencang larinya, jatuhnya di pipi, pasti rusak parah wajah kakak
nanti”
Saya tercenung
sesaat, kemudian merinding.
“Syukurlah ya kak. Untung bukan muka kakak”
***
Malu dan Bersyukur
Saya menjadi malu
dan merinding sekaligus. Saya tidak terbayang jika gara-gara jatuh (yang dengan
alasan konyol seperti itu), dan jatuhnya bukan di di tempat yang sekarang ini,
tapi di area wajah, pastilah akibatnya wajah saya bisa rusak karena luka.
Sedangkan di kaki dan lutut yang masih ter-cover dengan baik oleh pakaian yang
kuat, bisa lukanya parah begitu. Mungkin karena kasarnya aspal dan kerasnya
badan saat terhempas. Bagaimana kalau pipi saya yang mengalami luka akibat gesekan
langsung dengan aspal tadi? Malah yang ada bisa bolong atau robek parah. Sembuhnya
akan lama dan akan meninggalkan bekas yang tidak diinginkan. Naudzubillah min dzalik.
Saya malu karena
luka ini seperti ini saja saya ngomel-ngomel dan mengeluhnya tidak karuan.
Padahal ini masih kecil saja, lukanya berada di tempat yang tertutup pakaian. Merinding
sebenarnya membayangkan betapa dekat sekali saya dengan kemungkinan yang lebih buruk tersebut dan ternyata itu tidak
terjadi. Betapa Allah masih menyayangi saya, masih melindungi saya dari hal
yang lebih buruk tersebut.
Hal ini jadi
mengingatkan saya pada hal-hal yang terjadi dalam hidup saya tapi saya keluhkan
dan tidak saya syukuri. Padahal bisa jadi yang terbaik sudah diberikan, hanya
saja saya yang tidak melihat dan menyadarinya. Padahal bisa saja semua yang di
luar jangkauan dan kendali kita itu terjadi begitu saja, demi untuk melindungi
kita dari hal yang lebih buruk lagi.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia
amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat
buruk bagimu…” (Qs.
Al-Baqarah : 216)
“…Allah mengetahui sedang kamu
tidak mengetahui” (Qs. Al-Baqarah : 216)
Nikmat
Sehat
Seperti yang sudah
saya bilang sebelumnya. Banyak sekali pekerjaan saya yang tertunda karena
luka-luka ini. Saat sedang beraktifitas sepanjang hari sih tidak masalah. Tapi
pada saat malam tiba, baru lah lukanya berulah. Terasa
sekali lukanya mengering, kemudian robek sedikit karena lutut bergerak. Tenang
sedikit, robek lagi. Saya sampai hampir nangis saking frustasinya. Dikasih
obat, pedihnya minta ampun, lama pula. Kalau dibiarkan kaku, akibatnya pegal
sekali. Memindahkan kaki saja harus mengangkatnya dengan tangan, hati-hati
sekali. Akibatnya yang pegal bukan cuma kaki kiri saja, tapi seluruh badan.
Saya menjadi sibuk
karena efek yang ditimbulkan luka ini. Sibuk menyembuhkannya, sibuk karena rasa
sakitnya. Padahal di malam hari ada banyak sekali yang bisa saya selesaikan,
karena siangnya sudah habis untuk bergerak kesana-kemari. Niat ingin
menyelesaikan proposal PKTI, jadinya terbengkalai begitu saja. Mau membuat name
tag panitia booth untuk Fekon Expo, sudahlah lupakan saja. Belum lagi tugas
seminar kebijakan moneter dan deadline tulisan lainnya. Ah iya, nyuci baju pun
belum T.T
Padahal kalau saya
sehat pastilah saya bisa mengangsur pekerjaan-pekerjaan tersebut. Saya bisa membayangkan kalau kaki dan anggota tubuh lain tidak terluka atau memar, pasti saya bisa bergerak lebih leluasa, bisa melakukan banyak hal, tidak perlu mengalokasikan waktu untuk kesulitan dalam berjalan, atau mengalokasikan waktu untuk merasa sakit sehingga tidak bisa berbuat apa-apa.
”Ada
dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu
senggang”. (HR. Bukhari)
Teguran
atau…?
Atau mungkin ini bisa jadi teguran dari Allah.
Saya merasa seperti
itu karena beberapa waktu yang lalu saya bilang pada teman saya, untuk jangka
pendek, saya mempunyai banyak sekali hal yang ingin saya kejar dan selesaikan.
Semua deadline-nya berada dalam range bulan Mei dan Juni. Tapi yang saya kejar
semuanya adalah yang tak lebih dari kesibukan belaka. Semuanya adalah kesibukan yang bisa jadi
menjauhkan saya dari-Nya. Walaupun selalu ada doa dan harapan di saat akan
mengeksekusi itu semua, walaupun saya sudah menekankan pada diri saya sendiri, bahwa semua kesibukan belaka ini adalah untuk belajar. Tetapi tetap saja semuanya hanyalah urusan
dunia. Saya ‘merasa’ tidak punya waktu lebih dengan-Nya, bahkan sekedar untuk menyempatkan diri cerita sedikit
saja.
Tapi seorang senior
akhirnya menegur saya.
“Sudahlah dek,
jangan berprasangka buruk sama Allah dengan bilang ini teguran atau hukuman. Katanya ini
yang terbaik kan? Siapa tahu Allah ngasih seperti sakit seperti ini untuk jadi
penawar dosa. Kalau ikhlas dijalani, Insya Allah sakit yang kita alami bisa
mengugurkan dosa. Yang ikhlas, yang sabar”
Saya tidak bisa berkata apa-apa lagi selain setuju pada kakak senior kesayangan ini.
Maka pada saat
kita diuji, diberikan sesuatu yang menyulitkan, sebaiknya tidak langsung‘suudzon’ dengan fokus
bahwa kita sedang ditegur atau dihukum. Mengubah fokus dengan berprasangka baik
akan lebih menenangkan kita. Siapa tahu kita diuji atau ditegur karena Allah
ingin agar kita bisa dekat pada-nya. Maka harusnya momen seperti ini tidak
dikeluhkan, tapi tetap disyukuri, karena kita diberi kesempatan untuk berpikir,
mengelola perasaan, memperbaiki hubungan dengan Allah.
Semoga segala sakit
dan segala macam ujian mendewasakan kita. Amin :))
Doakan saya cepat sembuh juga yaa. Biar bisa lincah kesana kemari, atau berbuat banyak hal yang lebih berguna lagi hehe. Amin :3
Doakan saya cepat sembuh juga yaa. Biar bisa lincah kesana kemari, atau berbuat banyak hal yang lebih berguna lagi hehe. Amin :3
Oalah, kak. Get well really soon, ya. Semoga lebih berhati-hati lagi. ^^v
ReplyDeletemakasih adek :D
Deleteudah jarang posting blog yaa?
padahal seru-seru postingnya. yang rajin lagi yaa, ditungguin:D