Sunday, November 17, 2013

Bukan Diganti 10 Kali Lipat, Tapi Dijaga Baik-Baik





Rambut saya panjang sekali, sekarang saja sudah lebih sepanggul. Saya sudah berambut panjang sejak kelas 5 SD, dipotong sekali-sekali, sedikit-sedikit. Untuk merapikan ujungnya yang mulai tidak beraturan. Walaupun berjilbab memiliki rambut panjang tidak pernah menjadi masalah bagi saya. Ini juga karena Ayah yang suka jika kami—Bunda dan kami anak-anak gadisnya—untuk berambut panjang. Kalo kami mau potong rambut, beliau rusuh sekali hatinya. Macam rambutnya saja yang akan dipotong. Ayah sih, seneng sih seneng sama rambut panjang, tapi yang berambut panjang kan kami, beliau kan gak ikut repot-repot ngurusinnya -___-
Tapi gapapa sih berambut panjang, setidaknya untuk menunjukkan sisi feminin saya yang sedikit macho ini :D
Tapi artikel kali ini tentu saja bukan membahas rambut saya sebagai bahan utama ceritanya. Itu sih pengantar saja. Karena rambut panjang, sewajarnya saya punya banyak pernak-pernik rambut. Mulai dari berbagai macam jepit rambut kecil-kecil, yang tipis biasa ataupun macam bundelan, jepit rambut ‘buaya’,
lusinan ikat rambut (yang sering longgar kalau sudah menyanggul rambut saya), berbagai sumpit, bando, dll. Lucu-lucu benda ini. Tapi tentu saja yang bentuknya masih ‘wajar-wajar’ saja. Maksudnya saya gak punya jepit rambut dengan hiasan bunga atau pita yang hampir menutupi separuh kepala. Praktis fungsinya untuk merapikan dan mengurus panjangnya rambut saja, bukan untuk berhias. Untuk apa juga, saya kan pake jilbab :O
Nah sebenarnya perkara  pernak-pernik rambut ini  juga masih pengantar hehe. Iya iya nih serius, jadi langsung aja yaa. Jadi diantara sekian pernik rambut tersebut, yang paling saya sukai salah satunya adalah sumpit besi berwarna perak dengan untaian gantungan ‘permata’ di ujungnya. Sumpitnya cantik sekali. Pun cantik sekali rasanya menggelung rambut, membentuk sanggul, menyisakan sedikit anak-anakan rambut di sisi-sisi kepala dengan sumpit itu :))) *aiiihh.
Suatu hari anak perempuan kecil umur 3-4 tahunan yang cantik tapi bandel dan moodnya sering jelek, datang ke kamar saya -__- saya mengenal baik ibunya. Ibunya ini baik banget sama kami tapi sedikit eksentrik gitu. Kadang-kadang dia meninggalkan anaknya (yang cantik dan bandel itu) bersama kami, dia nya entah kemana, anaknya pun akhirnya ngebully kami -_- kadang juga pernah menyuruh kami membuatkan mie untuk anaknya. “Minta tolong bikinin mie sama kak putri sana”. Juga tidak pernah ‘terlalu melarang’ kalau anaknya pegang-pegang benda di kamar kami. Kadang kalo laptop lagi hidup dia ikut ngacak-ngacak. Pernah malah kameraku lensanya dibuka-tutup dan gara-gara saya melarang (baik-baik loh ini), moodnya langsung buruk dan hampir saja dia melemparkan kameraku. Ibunya melihat, tapi menganggap kami bisa mengatasinya dan tidak melarangnya :(( Pernah pas saya lagi makan siang dia datang, tangannya pura-pura main suap-suapan, mengacak-acak dengan nasi saya. Untung saja yang ini dilarang dan dimarahi. Tapi apa daya, selera saya patah sudah .___.
Pas dia masuk kamarku, sumpit itu sedang ‘tergeletak-tak-berdaya’ di karpet biru di lantai kamar. Dan seperti cerita FTV yang endingnya mudah ditebak,perkara apa yang terjadi dengan sumpit ini juga bisa ditebak. Ya diambillah sumpit cantik saya, dibawa keluar dan dimainkan. Aduh, tangan anak ini kan ‘panas’, ada-ada saja yang salah atau rusak setelah dipegang tangannya. Gantungan ‘permata’ nya dipukulkan ke dinding karena bunyinya yang ‘cring-cring’. Aku pasrah membiarkan dia memainkan sumpitku. Toh kalau mau maksa diminta juga gak dikasih. Kalau nangis atau ngamuk saya juga yang repot. Jadi biarlah. Semoga tidak terjadi apa-apa dengannya :’( (dengan sumpitnya bukan anaknya =..=)
Pendek cerita sampai keesokan harinya sumpitnya hilang T.T ketika aku tanyakan sumpit kemaren pada adek yang cantik ini, dia bilang gak tau. Yaiyalah anak kecil tau apa juga. Aku gak bicara apa-apa lagi selain “Oo yaudahlah”. Tapi pasti nampak sekali mukaku yang kesal. Ibunya pun jadi rada sewot. Beberapa waktu setelah itu aku tau dia membicarakan masalah sumpit itu pada orang.
“Halah si Putri, sumpit jelek hilang gitu aja pake kesal-kesal pula mukanya ke kita. Paling berapa sih harga sumpitnya itu? Lima ribu paling mahal! Kalau cuma lima ribu, sini nih, biar diganti. Mau berapa dia? Mau sepuluh? Sini biar aku kasih ke dia semua!”
Saya gak habis pikir. Saya gak pernah minta ganti apapun padanya. Bahkan masih pada hari yang sama kami masih sama-sama tertawa sambil mengobrol ringan. Saya tidak lagi mempermasalahkannya. Saya tau itu sumpit murah lima ribu dan saya bisa beli lagi kapan-kapan. Tapi perkataannya itu menyakitkan sekali. Seolah-olah dengan lima ribu, ataupun sepuluh kali lipatnya dia bisa membeli sumpit sekalian harga diri saya.
Selain sumpit tentunya ada benda-benda lain dengan masalah serupa. Itulah kesalahan yang sering orang-orang lakukan. Ketika merusak atau menghilangkan benda seseorang, selalu menilainya dari sisi fisik materi,memandang dari sisi dirinya. Bilang seolah-olah dia bisa mengganti berapapun, yang penting harga dirinya terselamatkan dari gara-gara hilang/rusaknya benda seseorang karenanya. Tidak memikirkan perasaan si pemilik barang. Memangnya yang minta ganti itu siapa? Yang minta ganti sepuluh kali lipat itu siapa? Saya gak pernah meminta barang saya diganti (apalagi sepuluh kali lipat),  saya hanya minta benda-benda saya dijaga baik-baik sehingga dia gak perlu mengganti (apalagi sepuluh kali lipat). Dia dapat manfaat, saya dapat pahala.
Tapi kalau sudah rusak atau hilang, memangnya saya gak berhak marah? Memangnya yang menghilangkan gak boleh kena marah? Anehnya kenapa dia malah fokus marah-marah akan mengganti berkali lipat? Kenapa tidak fokus bahwa masalah sebenarnya adalah bukan penggantian bendanya, tapi pada kenyataan bahwa dia sudah merusak atau menghilangkan benda pemiliknya. Sudah seharusnya dia merasa bersalah dan rela mengganti baik-baik benda tersebut.
Itu baru barang yang sifatnya fisik saja. Maksudnya tidak punya ‘nilai’ apapun kecuali manfaatnya secara fisik bagi kita. Coba saja kalau yang hilang misalnya kalung murah 15ribu yang banyak sekali dijual di toko-toko aksesoris tapi ternyata kalung itu punya nilai historis yang mendalam bagi pemiliknya karena ternyata dari seseorang yang juga berharga baginya. Atau lebih sepele lagi, misalnya sebut saja namanya Dean, di sebuah buku catatan fisikanya ada tulisan seseorang (yang sebenarnya isinya materi fisika juga). Seseorang itu berusaha menerangkan materi langsung di catatan Dean sehingga meninggalkan tulisan tangan khas orang tersebut. Sepele sekali, tapi bagi Dean catatan fisikanya berharga, jauh lebih berharga daripada materinya yang akan diujiankan saat UN. Setelah UN, menjalang SNMPTN temannya minjam catatan fisikanya
Ketika ternyata catatan itu hilang saat dipinjam temannya Dean, temannya Dean mau ganti pakai apa coba? Dalam tulisan tangan itulah ‘momen-seseorang-nya-berusaha-menjelaskan-pelajaran-bersamanya’. Dean bisa saja minta orang tadi menulis hal yang sama. Tapi selain aneh, tentu saja ‘rasanya’ juga beda. Momennya tidak lagi sama. Nah kalo kasusnya gitu gimana coba mau menggantinya?
Jika benda sudah rusak atau hilang, apalagi benda yang punya ‘nilai’ kita tentu saja tidak bisa menggantinya begitu saja. Bendanya sudah beda, nilainya sudah beda. Tapi akan lebih baik lagi jika kita  mau beritikad baik untuk mengganti setimpal dengan benda yang dirusak atau dihilangkan, minta maaf baik-baik, dan berjanji akan berhati-hati lain waktu.  Dan yang lebih penting, tidak berkoar-koar akan mengganti berkali lipat bilang “aku juga bisa beli, aku juga bisa kasih”. Apalagi pada kebanyakan kasus, mulut ya tinggal mulut. Lebih sering koar-koarnya daripada menggantinya.

1 comment:

  1. yaach... memang ada orang yang bersikap seperti itu,menghargai barang orang lain dengan sejumlah materi hanya untuk menghilangkan kesan bahwa dia sudah bersalah dengan menghilangkan dan merusak barang orang lain. jangan jangan harga dirinya hanya sebesar materi yang ditawarkannya? pesannya : tetap berhati-hati karena dimana-mana orang seperti itu ada.

    ReplyDelete