Rambut saya panjang sekali,
sekarang saja sudah lebih sepanggul. Saya sudah berambut panjang sejak kelas 5
SD, dipotong sekali-sekali, sedikit-sedikit. Untuk merapikan ujungnya yang
mulai tidak beraturan. Walaupun berjilbab memiliki rambut panjang tidak pernah
menjadi masalah bagi saya. Ini juga karena Ayah yang suka jika kami—Bunda dan
kami anak-anak gadisnya—untuk berambut panjang. Kalo kami mau potong rambut,
beliau rusuh sekali hatinya. Macam rambutnya saja yang akan dipotong. Ayah sih,
seneng sih seneng sama rambut panjang, tapi yang berambut panjang kan kami,
beliau kan gak ikut repot-repot ngurusinnya -___-
Tapi gapapa sih berambut panjang,
setidaknya untuk menunjukkan sisi feminin saya yang sedikit macho ini :D
Tapi artikel kali ini tentu saja
bukan membahas rambut saya sebagai bahan utama ceritanya. Itu sih pengantar
saja. Karena rambut panjang, sewajarnya saya punya banyak pernak-pernik rambut.
Mulai dari berbagai macam jepit rambut kecil-kecil, yang tipis biasa ataupun
macam bundelan, jepit rambut ‘buaya’,
lusinan ikat rambut (yang sering longgar kalau sudah menyanggul rambut saya), berbagai sumpit, bando, dll. Lucu-lucu benda ini. Tapi tentu saja yang bentuknya masih ‘wajar-wajar’ saja. Maksudnya saya gak punya jepit rambut dengan hiasan bunga atau pita yang hampir menutupi separuh kepala. Praktis fungsinya untuk merapikan dan mengurus panjangnya rambut saja, bukan untuk berhias. Untuk apa juga, saya kan pake jilbab :O
lusinan ikat rambut (yang sering longgar kalau sudah menyanggul rambut saya), berbagai sumpit, bando, dll. Lucu-lucu benda ini. Tapi tentu saja yang bentuknya masih ‘wajar-wajar’ saja. Maksudnya saya gak punya jepit rambut dengan hiasan bunga atau pita yang hampir menutupi separuh kepala. Praktis fungsinya untuk merapikan dan mengurus panjangnya rambut saja, bukan untuk berhias. Untuk apa juga, saya kan pake jilbab :O
Nah sebenarnya perkara pernak-pernik rambut ini juga masih pengantar hehe. Iya iya nih serius,
jadi langsung aja yaa. Jadi diantara sekian pernik rambut tersebut, yang paling
saya sukai salah satunya adalah sumpit besi berwarna perak dengan untaian
gantungan ‘permata’ di ujungnya. Sumpitnya cantik sekali. Pun cantik sekali
rasanya menggelung rambut, membentuk sanggul, menyisakan sedikit anak-anakan
rambut di sisi-sisi kepala dengan sumpit itu :))) *aiiihh.
Suatu hari anak perempuan kecil
umur 3-4 tahunan yang cantik tapi bandel dan moodnya sering jelek, datang ke
kamar saya -__- saya mengenal baik ibunya. Ibunya ini baik banget sama kami
tapi sedikit eksentrik gitu. Kadang-kadang dia meninggalkan anaknya (yang
cantik dan bandel itu) bersama kami, dia nya entah kemana, anaknya pun akhirnya
ngebully kami -_- kadang juga pernah menyuruh kami membuatkan mie untuk
anaknya. “Minta tolong bikinin mie sama kak putri sana”. Juga tidak pernah
‘terlalu melarang’ kalau anaknya pegang-pegang benda di kamar kami. Kadang kalo
laptop lagi hidup dia ikut ngacak-ngacak. Pernah malah kameraku lensanya
dibuka-tutup dan gara-gara saya melarang (baik-baik loh ini), moodnya langsung
buruk dan hampir saja dia melemparkan kameraku. Ibunya melihat, tapi menganggap
kami bisa mengatasinya dan tidak melarangnya :(( Pernah pas saya lagi makan
siang dia datang, tangannya pura-pura main suap-suapan, mengacak-acak dengan
nasi saya. Untung saja yang ini dilarang dan dimarahi. Tapi apa daya, selera
saya patah sudah .___.
Pas dia masuk kamarku, sumpit itu
sedang ‘tergeletak-tak-berdaya’ di karpet biru di lantai kamar. Dan seperti
cerita FTV yang endingnya mudah ditebak,perkara apa yang terjadi dengan sumpit
ini juga bisa ditebak. Ya diambillah sumpit cantik saya, dibawa keluar dan
dimainkan. Aduh, tangan anak ini kan ‘panas’, ada-ada saja yang salah atau
rusak setelah dipegang tangannya. Gantungan ‘permata’ nya dipukulkan ke dinding
karena bunyinya yang ‘cring-cring’. Aku pasrah membiarkan dia memainkan
sumpitku. Toh kalau mau maksa diminta juga gak dikasih. Kalau nangis atau
ngamuk saya juga yang repot. Jadi biarlah. Semoga tidak terjadi apa-apa
dengannya :’( (dengan sumpitnya bukan anaknya =..=)
Pendek cerita sampai keesokan
harinya sumpitnya hilang T.T ketika aku tanyakan sumpit kemaren pada adek yang
cantik ini, dia bilang gak tau. Yaiyalah anak kecil tau apa juga. Aku gak
bicara apa-apa lagi selain “Oo yaudahlah”. Tapi pasti nampak sekali mukaku yang
kesal. Ibunya pun jadi rada sewot. Beberapa waktu setelah itu aku tau dia
membicarakan masalah sumpit itu pada orang.
“Halah si Putri, sumpit jelek
hilang gitu aja pake kesal-kesal pula mukanya ke kita. Paling berapa sih harga
sumpitnya itu? Lima ribu paling mahal! Kalau cuma lima ribu, sini nih, biar
diganti. Mau berapa dia? Mau sepuluh? Sini biar aku kasih ke dia semua!”
Saya gak habis pikir. Saya gak
pernah minta ganti apapun padanya. Bahkan masih pada hari yang sama kami masih
sama-sama tertawa sambil mengobrol ringan. Saya tidak lagi mempermasalahkannya.
Saya tau itu sumpit murah lima ribu dan saya bisa beli lagi kapan-kapan. Tapi
perkataannya itu menyakitkan sekali. Seolah-olah dengan lima ribu, ataupun
sepuluh kali lipatnya dia bisa membeli sumpit sekalian harga diri saya.
Selain sumpit tentunya
ada benda-benda lain dengan masalah serupa. Itulah kesalahan yang sering
orang-orang lakukan. Ketika merusak atau menghilangkan benda seseorang, selalu
menilainya dari sisi fisik materi,memandang dari sisi dirinya. Bilang
seolah-olah dia bisa mengganti berapapun, yang penting harga dirinya
terselamatkan dari gara-gara hilang/rusaknya benda seseorang karenanya. Tidak
memikirkan perasaan si pemilik barang. Memangnya yang minta ganti itu siapa?
Yang minta ganti sepuluh kali lipat itu siapa? Saya gak pernah meminta barang
saya diganti (apalagi sepuluh kali lipat),
saya hanya minta benda-benda saya dijaga baik-baik sehingga dia gak
perlu mengganti (apalagi sepuluh kali lipat). Dia dapat manfaat, saya dapat
pahala.
Tapi kalau sudah rusak atau
hilang, memangnya saya gak berhak marah? Memangnya yang menghilangkan gak boleh
kena marah? Anehnya kenapa dia malah fokus marah-marah akan mengganti berkali
lipat? Kenapa tidak fokus bahwa masalah sebenarnya adalah bukan penggantian
bendanya, tapi pada kenyataan bahwa dia sudah merusak atau menghilangkan benda
pemiliknya. Sudah seharusnya dia merasa bersalah dan rela mengganti baik-baik
benda tersebut.
Itu baru barang yang sifatnya
fisik saja. Maksudnya tidak punya ‘nilai’ apapun kecuali manfaatnya secara
fisik bagi kita. Coba saja kalau yang hilang misalnya kalung murah 15ribu yang
banyak sekali dijual di toko-toko aksesoris tapi ternyata kalung itu punya
nilai historis yang mendalam bagi pemiliknya karena ternyata dari seseorang
yang juga berharga baginya. Atau lebih sepele lagi, misalnya sebut saja namanya
Dean, di sebuah buku catatan fisikanya ada tulisan seseorang (yang sebenarnya
isinya materi fisika juga). Seseorang itu berusaha menerangkan materi langsung
di catatan Dean sehingga meninggalkan tulisan tangan khas orang tersebut.
Sepele sekali, tapi bagi Dean catatan fisikanya berharga, jauh lebih berharga
daripada materinya yang akan diujiankan saat UN. Setelah UN, menjalang SNMPTN
temannya minjam catatan fisikanya
Ketika ternyata catatan itu
hilang saat dipinjam temannya Dean, temannya Dean mau ganti pakai apa coba? Dalam
tulisan tangan itulah ‘momen-seseorang-nya-berusaha-menjelaskan-pelajaran-bersamanya’.
Dean bisa saja minta orang tadi menulis hal yang sama. Tapi selain aneh, tentu
saja ‘rasanya’ juga beda. Momennya tidak lagi sama. Nah kalo kasusnya gitu
gimana coba mau menggantinya?
Jika benda sudah rusak atau
hilang, apalagi benda yang punya ‘nilai’ kita tentu saja tidak bisa
menggantinya begitu saja. Bendanya sudah beda, nilainya sudah beda. Tapi akan
lebih baik lagi jika kita mau beritikad
baik untuk mengganti setimpal dengan benda yang dirusak atau dihilangkan, minta
maaf baik-baik, dan berjanji akan berhati-hati lain waktu. Dan yang lebih penting, tidak berkoar-koar
akan mengganti berkali lipat bilang “aku juga bisa beli, aku juga bisa kasih”.
Apalagi pada kebanyakan kasus, mulut ya tinggal mulut. Lebih sering koar-koarnya
daripada menggantinya.
yaach... memang ada orang yang bersikap seperti itu,menghargai barang orang lain dengan sejumlah materi hanya untuk menghilangkan kesan bahwa dia sudah bersalah dengan menghilangkan dan merusak barang orang lain. jangan jangan harga dirinya hanya sebesar materi yang ditawarkannya? pesannya : tetap berhati-hati karena dimana-mana orang seperti itu ada.
ReplyDelete