Saturday, August 24, 2013

WAKE UP, PE! Tetaplah Menulis!


               

Udah hampir penghujung tahun 2013 dan gue belum nulis apapun di tahun ini.
Keterlaluan ya?
Oke gak ada lagi namanya memakumi writers block. Gue rasa walaupun yang kejadian ke gue beberapa tahun belakangan ini dapat dimaklumi, tapi gak nulis sampai tahunan itu udah keterlaluan banget. Gue sendiri sering malu ke diri gue. Katanya dulu gue mau jadi novelis, mau jadi penulis pro, mau terus melatih gaya bahasa, mau jadi dokter juga. Well, kalo mau jadi dokter udah gak mungkin karena ada batas waktunya untuk memulai menjadi dokter. Tapi kalo untuk jadi penulis gue gak punya batas waktu untuk mengakhiri! Menulis adalah hal yang sudah jadi darah daging gue sebelum nasi sempet jadi darah daging gue.
Hiperbolis bodo amat. Begitulah saking cintanya gue dulu sama dunia menulis. What?
DULU?!
Gue harus ingat, gue udah ‘menulis’ sejak gue belum bisa menulis. Gue merangkai kata-kata di saat kosakata gue sebagai anak umur 4 tahun belum terkumpul banyak. Gue udah ‘menulis’ bahkan saat tangan gue masih kaku megang pensil pertama kali.Gue udah bisa menilai cerpen gue dan tau adanya kejanggalan karena gaya bahasa gue belum pas saat gue SD. Waktu itu gue selalu mencoba untuk supaya cerpen gue diterima di majalah Bobo. Kirimin terus tiap minggu. Gue tulis rapi-rapi di kertas, gue beli prangko pakai uang jajan, antar ke kantor pos tiap minggu. Walaupun belum pernah jebol, gue tetap keep on fire. Pokoknya gak ada yang menghalangi gue buat nulis. Termasuk ulangan fisika, sehingga gue pernah menulis entah sepotong opini atau cerpen di kertas ulangan gue. Berhubung udah gak ada lagi jawaban yang mau gue isi -__-
Dan sekarang, hanya gara-gara hal ‘sepele’ ini, gue berhenti nulis sampai tahunan?! Astaga bego banget sih gue! Oke, mungkin ini bukan masalah sepele, masalah gue adalah selalu masalah jurusan, masalah kehilangan jati diri, merasa tidak mampu, limbung melihat masa depan karena jurusan gue gak sesuai dengan hati, iri melihat teman-teman yang sukses di dunia perkuliahannya, dan sedih karena selalu jauh dari mereka. Dan ada pikiran-pikiran lain yang selalu mengganjal hati gue. Pikiran yang kalau orang lain denger saat gue cerita, mereka rata-rata punya tanggapan yang sama “Ya ampun pe umur lo berapa sih? Pikiran lo terlalu rumit untuk anak seukuran kita. Sudut pandang lo terlalu banyak. Mentang-mentang penulis”
Penulis memang harus punya banyak sudut pandang, tapi pakailah sudut pandang-sudut pandang yang memudahkan kita. Gue tau itu. Tapi gue emang gak arif menggunakan anugrah pikiran rumit yang dikasih Tuhan ini. Di sisi lain gue tau gue gak mau nurut sama petuah yang gue bikin sendiri. Nah nampak kan rumitnya gue? Seolah-olah sudut pandang yang satu sedang berantem sama sudut pandang yang lain dalam diri gue. Alhasil gue jadi susah sendiri. Karena apa yang udah terjadi, apa yang gue rasa dan pikir, gue merasa gak akan mampu lagi dituangkan dalam bentuk tulisan. Untuk pertama kalianya gue gak percaya pada menulis. Karena kebanyakan risau dan galau sama pikiran sendiri (berikut karena faktor dan latar belakangnya), sejak itulah gue perlahan meninggalkan ‘menulis’.
Jangankan artikel atau cerpen yang oke, bikin status sama tweet aja udah jarang. Bego banget kan? Separah itu kah gue ‘gak mau’ nulis lagi?  Gue bilang itu writers block, gue bilang itu proses hidup yang dapat dimaklumi, dan itu SALAH. Ada batas waktunya untuk hal seperti itu! Dan gue sendirilah yang harus membuat batasannya. Kalau gak gue bisa lalai dan ambruk perlahan.
Well, untuk yang satu ini aja. Gue gak boleh melawan pikiran yang satu ini: Sekali lagi, masalah hidup dapat dimaklumi, tapi membuang jauh apa yang udah mengalir dalam darah daging lo itu GAK BISA DIMAKLUMI. Gue musti bangkit. Gue musti mulai menulis lagi walaupun gue merasa gaya bahasa gue udah kaku. Gue musti nulis lagi, sejelek apapun hasilnya, sedangkal apapun bentuknya. Seperti tulisan ini contohnya. Ingat, dunia menulis adalah hal yang membangkitkan gue saat gue jatuh. Gue sudah menganggap dia darah daging dalam diri gue dan kalau gue buang, berarti gue membuang sebagian berat badan gue yang jelas-jelas tidak bagus buat orang kurus macam gue.
Ngomong apa sih gue ini -___-
Gue gak boleh ngebiarin apa yang udah jadi esensisal dari jati diri gue hilang gitu aja. Menulis adalah terapi dan sahabat yang mau melegakan hati gue. Gak seharusnya gue ‘membuangnya’ jauh-jauh setelah gue banyak berhutang budi pada dia, HANYA karena gue belum mengihklashkan jalan yang Tuhan kasih ke gue. Padahal jalan yang Dia kasih itu baik looh. Guenya aja yang belum bisa lihat baiknya -___-
Menulis adalah diri gue sendiri. Apapun yang terjadi pada hidup gue, menulis tetap bagian dari 43 kg berat badan gue ini, adalah bagian terbesar dari jati diri gue ini. Gak ada hubungannya masalah hidup lain dengan menulis. Mereka terpisah. Jalur mereka berbeda. Jadi mereka bisa berjalan tanpa harus membuat stuck satu sama lain. Itu yang harus gue tekankan pada diri gue. Gue gak boleh menghilangkannya semudah saat hidup gue berubah drastis dua tahun belakangan ini. Dunia boleh jungkir balikin gue, tapi gak dengan kemantapan hati gue. Insya Allah.
Jadi tetaplah gue bersemangat. Allah udah siapain rencana yang baik, dan gue juga musti jalaninnya dengan baik. Juga iklash.
SOOO, KEEP ON FIRE AND KEEP WRITING DARLING!

1 comment: