Udah hampir penghujung tahun 2013
dan gue belum nulis apapun di tahun ini.
Keterlaluan ya?
Oke gak ada lagi namanya memakumi
writers block. Gue rasa walaupun yang kejadian ke gue beberapa tahun belakangan
ini dapat dimaklumi, tapi gak nulis sampai tahunan itu udah keterlaluan banget.
Gue sendiri sering malu ke diri gue. Katanya dulu gue mau jadi novelis, mau
jadi penulis pro, mau terus melatih gaya bahasa, mau jadi dokter juga. Well,
kalo mau jadi dokter udah gak mungkin karena ada batas waktunya untuk
memulai menjadi dokter. Tapi kalo untuk jadi penulis gue gak punya batas waktu
untuk mengakhiri! Menulis adalah hal yang sudah jadi darah daging gue sebelum
nasi sempet jadi darah daging gue.
Hiperbolis bodo amat. Begitulah saking cintanya gue dulu sama dunia menulis. What?
Hiperbolis bodo amat. Begitulah saking cintanya gue dulu sama dunia menulis. What?
DULU?!
Gue harus ingat, gue udah ‘menulis’
sejak gue belum bisa menulis. Gue merangkai kata-kata di saat kosakata gue
sebagai anak umur 4 tahun belum terkumpul banyak. Gue udah ‘menulis’ bahkan saat
tangan gue masih kaku megang pensil pertama kali.Gue udah bisa menilai cerpen gue
dan tau adanya kejanggalan karena gaya bahasa gue belum pas saat gue SD. Waktu itu
gue selalu mencoba untuk supaya cerpen gue diterima di majalah Bobo. Kirimin terus tiap minggu. Gue tulis rapi-rapi di
kertas, gue beli prangko pakai uang jajan, antar ke kantor pos tiap minggu. Walaupun belum pernah jebol, gue tetap keep on fire. Pokoknya gak ada yang
menghalangi gue buat nulis. Termasuk ulangan fisika, sehingga gue pernah menulis
entah sepotong opini atau cerpen di kertas ulangan gue. Berhubung udah gak ada
lagi jawaban yang mau gue isi -__-
Dan sekarang, hanya gara-gara hal
‘sepele’ ini, gue berhenti nulis sampai tahunan?! Astaga bego banget sih gue! Oke,
mungkin ini bukan masalah sepele, masalah gue adalah selalu masalah jurusan,
masalah kehilangan jati diri, merasa tidak mampu, limbung melihat masa depan
karena jurusan gue gak sesuai dengan hati, iri melihat teman-teman yang sukses
di dunia perkuliahannya, dan sedih karena selalu jauh dari mereka. Dan ada
pikiran-pikiran lain yang selalu mengganjal hati gue. Pikiran yang kalau orang
lain denger saat gue cerita, mereka rata-rata punya tanggapan yang sama “Ya
ampun pe umur lo berapa sih? Pikiran lo terlalu rumit untuk anak seukuran kita.
Sudut pandang lo terlalu banyak. Mentang-mentang penulis”
Penulis memang harus punya banyak
sudut pandang, tapi pakailah sudut pandang-sudut pandang yang memudahkan kita. Gue
tau itu. Tapi gue emang gak arif menggunakan anugrah pikiran rumit yang dikasih
Tuhan ini. Di sisi lain gue tau gue gak mau nurut sama petuah yang gue bikin
sendiri. Nah nampak kan rumitnya gue? Seolah-olah sudut pandang yang satu
sedang berantem sama sudut pandang yang lain dalam diri gue. Alhasil gue jadi
susah sendiri. Karena apa yang udah terjadi, apa yang gue rasa dan pikir, gue
merasa gak akan mampu lagi dituangkan dalam bentuk tulisan. Untuk pertama kalianya
gue gak percaya pada menulis. Karena kebanyakan risau dan galau sama pikiran
sendiri (berikut karena faktor dan latar belakangnya), sejak itulah gue
perlahan meninggalkan ‘menulis’.
Jangankan artikel atau cerpen
yang oke, bikin status sama tweet aja udah jarang. Bego banget kan? Separah itu
kah gue ‘gak mau’ nulis lagi? Gue bilang
itu writers block, gue bilang itu proses hidup yang dapat dimaklumi, dan itu
SALAH. Ada batas waktunya untuk hal seperti itu! Dan gue sendirilah yang harus
membuat batasannya. Kalau gak gue bisa lalai dan ambruk perlahan.
Well, untuk yang satu ini aja. Gue
gak boleh melawan pikiran yang satu ini: Sekali lagi, masalah hidup dapat
dimaklumi, tapi membuang jauh apa yang udah mengalir dalam darah daging lo itu GAK
BISA DIMAKLUMI. Gue musti bangkit. Gue musti mulai menulis lagi walaupun gue
merasa gaya bahasa gue udah kaku. Gue musti nulis lagi, sejelek apapun hasilnya,
sedangkal apapun bentuknya. Seperti tulisan ini contohnya. Ingat, dunia menulis
adalah hal yang membangkitkan gue saat gue jatuh. Gue sudah menganggap dia
darah daging dalam diri gue dan kalau gue buang, berarti gue membuang sebagian
berat badan gue yang jelas-jelas tidak bagus buat orang kurus macam gue.
Ngomong apa sih gue ini -___-
Gue gak boleh ngebiarin apa yang
udah jadi esensisal dari jati diri gue hilang gitu aja. Menulis adalah terapi
dan sahabat yang mau melegakan hati gue. Gak seharusnya gue ‘membuangnya’
jauh-jauh setelah gue banyak berhutang budi pada dia, HANYA karena gue belum
mengihklashkan jalan yang Tuhan kasih ke gue. Padahal jalan yang Dia kasih itu
baik looh. Guenya aja yang belum bisa lihat baiknya -___-
Menulis adalah diri gue sendiri. Apapun
yang terjadi pada hidup gue, menulis tetap bagian dari 43 kg berat badan gue
ini, adalah bagian terbesar dari jati diri gue ini. Gak ada hubungannya masalah
hidup lain dengan menulis. Mereka terpisah. Jalur mereka berbeda. Jadi mereka
bisa berjalan tanpa harus membuat stuck satu sama lain. Itu yang harus gue
tekankan pada diri gue. Gue gak boleh menghilangkannya semudah saat hidup gue
berubah drastis dua tahun belakangan ini. Dunia boleh jungkir balikin gue, tapi
gak dengan kemantapan hati gue. Insya Allah.
Jadi tetaplah gue bersemangat. Allah
udah siapain rencana yang baik, dan gue juga musti jalaninnya dengan baik. Juga
iklash.
SOOO, KEEP ON FIRE AND KEEP
WRITING DARLING!
Semangat Pe.... Cahyo.......
ReplyDelete