Tuesday, March 10, 2015

Menantang Rasa Nyaman




“Seseorang tidak bisa terus menerus berlari saat keadaan fisiknya sudah tidak lagi memungkinkan.”


Saya sering sekali mengorbankan ‘rasa nyaman’ hanya karena tidak mau kalah oleh keadaan. Malu. Kalau sama masalah beginian saja saya bisa kalah, bisa tidak tahan, bagaimana mau menghadapi hidup yang akan jauh lebih berat ke depannya? 

Rasa nyaman ini bisa berbentuk lepasnya diri dari kemungkinan kelelahan, baik itu secara fisik maupun psikis. Bisa terlepas dari segala macam campur aduk emosi dan tidak perlu repot-repot mengendalikannya.  Bisa terlepas dari komunikasi dengan orang-orang yang tidak kita sukai. Bisa menikmati film korea di rumah tanpa memikirkan hal yang bukan urusan kita. Bisa belajar tanpa rasa cemas. Bisa minum teh sambil tiduran di kamar. Menyenangkan sekali, kan? Tapi ketika saya memutuskan untuk memilih ‘rasa nyaman’ maka saya berarti memilih mundur. Karena tidak mau bersusah payah, tidak berani menghadapi. Memilih 'rasa nyaman' berarti kalah.

Masalahnya saya juga tidak mau kalah -..- Udah kalah aja, masih suka ngotot tidak akan kalah sama keadaan. Padahal udah di kick-out habis-habisan sampai tak ada lagi yang bisa diperbuat. Apalagi untuk menyerah di awal. Jadi walaupun ogah-ogahan dan emosi kacau balau dibuatnya, akhirnya saya memilih mengorbankan rasa nyaman saya dan bergulat dengan apapun resiko keadaan yang sudah saya putuskan untuk menyelesaikannya. Demi rasa tidak mau kalah oleh keadaan. Demi menghindari rasa malu (terhadap diri sendiri) karena tidak berani menghadapinya.

Ini sudah semacam egoisme, tapi terhadap diri sendiri .-.

Tapi sudah sejauh ini, sudah sekian banyak keadaan yang saya hadapi dengan mengorbankan ‘rasa nyaman’, sampailah saya pada titik—mau—sampai—kapan—seperti—ini. Beberapa atau banyak hal bisa saya atasi. Beberapa diantaranya berjalan oke dan lancar-lancar saja. Beberapa diantaranya macet-macet-tapi-selesai-juga. Beberapa yang lain justru bikin masalah baru. Tidak masalah. Yang penting tidak kalah pada keadaan. Tapi bagaimana kalau sudah terlalu banyak? Apa saya mau tidak nyaman terus menerus? Apa saya mau menantang perasaan dan kekuatan fisik saya terus menerus? Saya akhirnya membuat batasan. No more. Enough is enough. Semua yang berlebih-lebihan itu tidak baik, semuanya harus patuh pada batas yang seharusnya. Sesuai dengan kemampuan yang masih bisa dipaksakan sampai batas terakhir. Jika kemampuannya masih bisa dipaksakan, tidak masalah, boost aja terus. Tapi jika sudah tidak bisa lagi, lantas untuk apa?

Kali ini saya memilih untuk tidak menantang diri saya sendiri. Bukan berarti saya kalah menghadapi keadaan dan memilih mundur. Tapi prioritasnya saya ubah. Sekarang saya lebih butuh rasa nyaman, lebih butuh daripada ‘rasa-tidak-mau-kalah-pada-keadaan’, karena toh saya sudah sering menang  menghadapinya. Ini semacam titik balik dari nilai utilty suatu barang *anak ekonomi. Dimana jika sudah terlalu banyak atau sering digunakan justru akan menyebabkan titik balik dalam kurva, yang artinya adalah turunnya kepuasan terhadap barang tersebut. Saya butuh ‘barang lain’ karena saya belum mencapai titik maksimum dalam pencapaian nilai utilty-nya. Dalam hal ini, rasa nyaman lah yang belum saya temukan titik tertinggi nilai utilty-nya.

Semoga ini yang terbaik.


2 comments:

  1. terkadang kita memang butuh keluar dari zona nyaman...mungkin ini berlaku untuk orang2 yang suka tantangan...lain lagi kalau kita nyaman tapi tidak dapat apa2 *malah curcol*

    salam kenal :) mampir ya ke Blog Ca Ya ada rok celana kece lhoo :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. nah kalau gue malah butuh 'zona nyaman' sekarang hahaha. salam kenal juga ca ya.
      gue juga cukup sering mampir ke blog nya, cuman jadi silent reader doang hehehe :D

      Delete