“Seseorang tidak
bisa terus menerus berlari saat keadaan fisiknya sudah tidak lagi
memungkinkan.”
Saya sering sekali mengorbankan
‘rasa nyaman’ hanya karena tidak mau
kalah oleh keadaan. Malu. Kalau sama masalah beginian saja saya bisa kalah,
bisa tidak tahan, bagaimana mau menghadapi hidup yang akan jauh lebih berat ke
depannya?
Rasa nyaman ini bisa
berbentuk lepasnya diri dari kemungkinan kelelahan, baik itu secara fisik maupun
psikis. Bisa terlepas dari segala macam campur aduk emosi dan tidak perlu
repot-repot mengendalikannya. Bisa
terlepas dari komunikasi dengan orang-orang yang tidak kita sukai. Bisa
menikmati film korea di rumah tanpa memikirkan hal yang bukan urusan kita. Bisa
belajar tanpa rasa cemas. Bisa minum teh sambil tiduran di kamar. Menyenangkan
sekali, kan? Tapi ketika saya memutuskan untuk memilih ‘rasa nyaman’ maka saya
berarti memilih mundur. Karena tidak mau bersusah payah, tidak berani menghadapi. Memilih 'rasa nyaman' berarti kalah.
Masalahnya saya juga
tidak mau kalah -..- Udah kalah aja, masih suka ngotot tidak akan kalah sama
keadaan. Padahal udah di kick-out
habis-habisan sampai tak ada lagi yang bisa diperbuat. Apalagi untuk menyerah
di awal. Jadi walaupun ogah-ogahan dan emosi kacau balau dibuatnya, akhirnya saya
memilih mengorbankan rasa nyaman saya dan bergulat dengan apapun resiko keadaan
yang sudah saya putuskan untuk menyelesaikannya. Demi rasa tidak mau kalah oleh
keadaan. Demi menghindari rasa malu (terhadap diri sendiri) karena tidak berani
menghadapinya.
Ini sudah semacam
egoisme, tapi terhadap diri sendiri .-.
Tapi sudah sejauh
ini, sudah sekian banyak keadaan yang saya hadapi dengan mengorbankan ‘rasa
nyaman’, sampailah saya pada titik—mau—sampai—kapan—seperti—ini. Beberapa atau
banyak hal bisa saya atasi. Beberapa diantaranya berjalan oke dan lancar-lancar
saja. Beberapa diantaranya macet-macet-tapi-selesai-juga. Beberapa yang lain
justru bikin masalah baru. Tidak masalah. Yang penting tidak kalah pada
keadaan. Tapi bagaimana kalau sudah terlalu banyak? Apa saya mau tidak nyaman
terus menerus? Apa saya mau menantang perasaan dan kekuatan fisik saya terus
menerus? Saya akhirnya membuat batasan. No
more. Enough is enough. Semua yang berlebih-lebihan itu tidak baik, semuanya
harus patuh pada batas yang seharusnya. Sesuai dengan kemampuan yang masih bisa
dipaksakan sampai batas terakhir. Jika kemampuannya masih bisa dipaksakan,
tidak masalah, boost aja terus. Tapi jika
sudah tidak bisa lagi, lantas untuk apa?
Kali ini saya
memilih untuk tidak menantang diri saya sendiri. Bukan berarti saya kalah
menghadapi keadaan dan memilih mundur. Tapi prioritasnya saya ubah. Sekarang
saya lebih butuh rasa nyaman, lebih butuh daripada
‘rasa-tidak-mau-kalah-pada-keadaan’, karena toh saya sudah sering menang menghadapinya. Ini semacam titik balik dari
nilai utilty suatu barang *anak ekonomi.
Dimana jika sudah terlalu banyak atau sering digunakan justru akan menyebabkan titik
balik dalam kurva, yang artinya adalah turunnya kepuasan terhadap barang
tersebut. Saya butuh ‘barang lain’ karena saya belum mencapai titik maksimum
dalam pencapaian nilai utilty-nya. Dalam hal ini, rasa nyaman lah yang belum
saya temukan titik tertinggi nilai utilty-nya.
Semoga ini yang
terbaik.
terkadang kita memang butuh keluar dari zona nyaman...mungkin ini berlaku untuk orang2 yang suka tantangan...lain lagi kalau kita nyaman tapi tidak dapat apa2 *malah curcol*
ReplyDeletesalam kenal :) mampir ya ke Blog Ca Ya ada rok celana kece lhoo :)
nah kalau gue malah butuh 'zona nyaman' sekarang hahaha. salam kenal juga ca ya.
Deletegue juga cukup sering mampir ke blog nya, cuman jadi silent reader doang hehehe :D