Dan akhirnya kita tiba lagi di bulan yang selalu
kita ‘sakral’ kan kedatangannya. Entah karena hujannya, entah karena musim asapnya,
atau berbagai paradoks hidup kita yang menjadi titik nadir sekaligus titik
zahir di saat yang sama, dalam Oktober yang sama. Kepanitiaan, kelembagaan, sidang
paripurna, expo kampus, biji merah, bazar buku, UTS, cinta-cintaan, proposal,
wisuda, kerjaan yang gak kelar-kelar, dan masih banyak lagi.
Kita dibuat bahagia, kita dibikin marah, kita
dipecundangi, kita dibangga-banggakan, kita lega, kita bersyukur, kita harus
memilih, kita mengalah, kita dianggap lalu lalang, kita pernah disuruh pergi, kita
pernah juga justru dipeluk dan dirangkul, dan masih banyak lagi.
***
Dalam berbagai kondisi kami saat berteman,
entah dalam keadaan serius atau bercanda kata ‘mendamaikanmu’ adalah kata yang
sering terlompat begitu saja. ‘Semoga hujan ini mendamaikanmu’… ‘Semoga UTS ini
mendamaikanmu’… ‘Semoga KKN penuh drama ini mendamaikanmu’
Dan kebanyakan kata ‘mendamaikanmu’ ini hadir
sebagai bahan bercanda olok-olokan semata.
Tapi terakhir sebelum saya pindah dari Pekanbaru
ke Bogor, Opa bilang “Ketika rasa sedih harus diendapkan dan rasa bangga harus
dimenangkan. Semoga langit kota hujan selalu mendamaikanmu.”
Saya baru rasakan kata ‘mendamaikanmu’ justru terasa
tidak damai ketika dia ucapkan (walaupun tidak langsung)
Sekarang saya sudah di bulan hujan dan berada
di kota hujan. Tapi apalah daya saya memeriahkan Oktober jika anak hujan satu ini tak ada di sekitar saya.
Maka oktober belum pernah sespesial itu tanpa Ospa
Oktafia Utama yang berulang tahun hari ini.
Selamat bulan oktober Opa. Semoga Oktober kali ini mendamaikanmu, tidak peduli pertanyaan wisuda atau pertanyaan nikah menghampirimu. Selamat menyambut puluhan atau bahkan ratusan Oktober
ke depan dengan gilang gemilang.
Salam,
anak musim panas yang sedang tinggal di
kota hujan.