Halo teman-teman semua. Saya rasa review buku Mega Best Seller dari Fumio Sasaki kali ini cocok untuk mengawali tahun baru sekaligus untuk membantu kita melepas yang sudah terjadi di tahun ini. “Goodbye, Things: Hidup Minimalis Ala Orang Jepang” ini menjabarkan secara detail mengapa kita perlu berpisah dengan barang-barang yang tidak kita butuhkan sekalipun barang tersebut masih kita inginkan.
Judul Buku |
Goodbye,
Things: Hidup Minimalis Ala Orang Jepang |
Penulis |
Fumio Sasaki |
Penerbit |
Gramedia Pustaka Utama |
Tebal |
247 halaman |
Tahun terbit |
November
2018 |
Harga |
Rp 62.000, 00 |
Dan menurut
saya, ‘penerapan melepas’ ini sangat bagus bukan hanya untuk barang. Tapi juga
berbagai aspek dalam kehidupan. Kenangan buruk, kebiasaan buruk, perasaan
negatif yang tidak perlu. Dan semuanya, dapat dimulai dengan menerapkan prinsip
minimalisme terhadap barang-barang yang kita miliki.
“Bersiaplah berpisah dari segala benda yang selama ini menahan kita”
Sebelum dibahas lebih jauh, Fumio Sasaki menjelaskan latar belakang dirinya dan mengapa dia memutuskan untuk menjadi seorang minimalis. Ia dulunya menjalani hidup yang berantakan: sepulang kerja hanya menonton film sambil minum alkohol, bangun dalam keadaan kacau, dikelilingi tumpukan pakaian kotor, koleksi buku dan kaset yang tak terurus, serta rumah sewaan mahal yang dipenuhi barang yang bahkan sudah tak ia ingat. Gaya hidup tak sehat ini membuatnya makin stres, berat badan naik, dan akhirnya ditinggal kekasih. Hidupnya penuh, tapi justru terasa sesak—secara fisik dan mental.
Aku—jangankan menjalaninya, membayangkannya saja sudah
membuatku badmood duluan -___-
Eh tapi, bukan
sebagian besar dari kita juga punya kebiasaan seperti Fumio Sasaki? Menumpuk
barang dan membiarkannya tidak terawat, enggan mengurusi, tetapi juga terbebani
karena kita tahu itu semua harus
dibereskan, dan kita memilih menghindar.
Berapa dari kita yang masih menyimpan baju mahal yang sudah tidak muat karena masih sayang?
Berapa dari kita
yang menumpuk botol kosmetik yang tidak cocok
dengan kulit, tapi karena belinya mahal lalu tak tega menyingkirkannya?
Atau mungkin
menyimpan baju dari kampus kebanggaan yang sayangnya sudah lusuh dan tidak
layak pakai, tapi masa iya sih harus dibuang—kan ini kebanggaan?
Ah, foto bersama
mantan juga. Lha kan gapapa disimpan, orangnya udah gak bersama kita, masa fotonya
mau dibuang/dihapus juga?
Padahal ternyata lebih berat menyimpan daripada melepaskan.
Tanpa kita sadar
semua barang-barang yang kita tahan tersebut membentuk pola hidup yang tidak
teratur dari berbagai sisi. Banyak ketidakefisienan yang kita hadapi karena
terganggu untuk hal-hal yang seharusnya tidak perlu, hal-hal yang sebenarnya
bisa di-cut dan kemudian kita bisa fokus hanya pada yang penting-penting saja.
***
Minimalisme
sendiri juga pernah menjadi gaya hidup orang Jepang di zaman kuno. Oleh karena
itu tidak terlalu banyak furniture yang mencolok dalam rumah lama orang Jepang.
Upacara minum teh yang agung pun juga diselenggarakan dengan sederhana, tidak
banyak seremonial dan perlengkapan. Hanya menikmati hidangan teh dan
berdiskusi.
Tidak ada aturan
pasti mengenai seberapa banyak barang yang dibuang/disingkirkan agar bisa
disebut sudah menerapkan minimalisme. Akan tetapi saya setuju dengan Fumio
Sasaki, bahwa minimalis adalah ketika bisa membedakan kebutuhan dan keinginan. Semakin
bisa memilah apa yang perlu dan yang tidak perlu, maka semakin baik kita menerapkan minimalisme pada diri kita.
Jika kamu merasa
sebagai seseorang yang butuh satu jenis sepeda untuk berolahraga, dan itu
cukup, maka pembelian koleksi selanjutnya akan membebanimu di kemudian hari. Karena
kamu nyaman dengan salah satu diantaranya, dan yang satunya
disimpan dengan perasaan bersalah karena jarang dipakai.
Sebaliknya menyingkirkan belasan peralatan masak modern yang kamu butuhkan juga tidak serta merta membuat kamu menjadi seorang minimalis. Karena pada dasarnya seluruh peralatan tersebut kamu beli menyesuaikan dengan kebutuhan memasakmu.
“Tidak ada satu barang pun, yang akan membuat kita menyesal setelah
kita membuangnya.”
Fumio Sasaki lalu menjabarkan apa-apa saja barang-barang yang dia buang/jual murah demi lebih teratur hidupnya dengan minimalisme. Mulai dari buku-buku yang tumpukannya menjulang tinggi, baju-baju mahal yang tidak muat, furniture kualitas tinggi, surat-surat kenangan, sampai koleksi barang antik hasil lelang mahal dan berbagai peralatan elektronik mewah.
“Mengapa kita punya begitu banyak barang yang bukan merupakan kebutuhan
kita? Apa tujuannya? Saya rasa jawabannya cukup jelas: kita begitu ingin
memperlihatkan seberapa berharga diri kita kepada orang lain. Lewat benda, kita
menyampaikan kepada masyarakat bahwa kita punya nilai”
Dalam buku ini,
menarik bagi saya adalah bagaimana Fumio Sasaki menjelaskan nilai barang yang
dia buang baik secara nilai sentimental maupun nilai komersil. Sehingga saya
sendiri pun berempati bagaimana berat keterikatannya terhadap barang-barang
tersebut sekaligus ‘beratnya
beban’ yang dia tanggung untuk tetap menyimpan (ketidakbergunaan) tumpukan
barang-barang tersebut.
Salah satu poin penting dari buku ini adalah bagaimana nilai sentimental sering membuat kita sulit melepas ‘rongsokan’ di rumah. Coba pikirkan barang-barang tak terpakai yang masih disimpan—sekilas sepele, tapi saat terlihat, sering memicu pikiran “ini harusnya dibuang,” lalu ditunda. Tanpa sadar, hal-hal kecil ini menyita ruang fisik dan mental, mengganggu fokus kita terhadap hal yang lebih penting.
“Kerepotan yang dilalui untuk mendapatkan benda tertentu, harga yang
dibayarkan, atau kenangan yang terkait suatu barang meningkatkan nilainya di
mata kita. Namun betapa pun mahal atau indahnya barang itu bagi kita, orang
lain tidak melihatnya dengan cara yang sama. Barang itu tak lebih dari benda
biasa”
Di lain sisi kehidupan sebagai maksimalis (berusaha untuk memenuhi standar
cukup, yang sayangnya tidak akan pernah ada cukupnya, sehingga perasaan kurang
selalu menghantui) membuat kita selalu memikirkan apa lagi yang harus dimiliki
dan bagaimana mengurusinya setelah itu. Belum jika mengikuti trend yang tentunya
tidak akan ada selesainya.
“Dalam hari-hari sebagai maksimalis, saya hidup
dengan rasa takut akan masa depan, terus menerus mengkhawatirkan karier dan
pendapat orang lain”
Untuk lebih
lanjut, Fumio Sasaki menjabarkan tips “55 Kiat Berpisah dengan Barang” yang
menurut saya memberikan sudut pandang baru mengenai keterikatan kita dengan
barang-barang yang selama ini selalu kita simpan dan memberikan kesadaran bahwa
menyingkirkan barang-barang yang tidak dibutuhkan itu adalah hal mudah. Prinsip ‘satu masuk satu keluar’ adalah salah satu
prinsip yang paling banyak digunakan untuk prinsip minimalisme.
“Membuang barang mengurangi apa yang kita miliki, tapi bukan siapa
diri kita”
Buku ini saya sukai karena dipenuhi dengan kalimat-kalimat sederhana, tapi tajam sehingga sangat quote-able and relatable dengan kehidupan sehari-hari. Menurutku pribadi buku ini memberikan insight cukup kuat dalam meyakinkan pembacanya mengenai apa yang ingin dia sampaikan tentang minimalisme dari sudut pandang yang sering kita lewatkan. Cukup menguatkan mental kita "untuk menyingkirkan hal-hal yang tidak lagi seharusnya ada di hidup kita, sehingga kita tenang dan lebih efisien dalam merencanakan hidup ke depannya"
Saya sebenarnya ingin menutup review kali dengan quotes favorit akan tetapi
semua quotes yang ada di buku ini adalah favorit saya semua dan saya tidak bisa
memilih salah satu diantaranya. Silakan dibaca sendiri dan pilih tips/quotes
favoritmu!
Selamat mengakhiri tahun 2021 dengan menyingkirkan hal menumpuk yang tidak perlu dan selalu menganggumu (berlaku tidak hanya untuk barang). Selamat mengawali tahun 2022 dengan segala kelapangan di dada dan resolusi cemerlang dan terbaik ke depannya.
Bismillah!
No comments:
Post a Comment